Lidia Afrilita hadir di tengah para peserta IDOCLAB untuk berbagi pengalamannya selama malang-melintang menjadi produser. Lidia merupakan produser yang memulai kariernya dari sebuah komunitas film di Padang. Kini, karya-karya dokumenternya telah mendapatkan berbagai pendanaan dan memenangkan berbagai penghargaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dokumenter pendeknya yang ketiga, Waste on My Plate, telah dipresentasikan di Good Pitch Indonesia dan dikembangkan di ASIADOC serta American Film Showcase.
Lidia menuturkan, pada awalnya, ia diajak oleh seorang teman untuk coba-coba membuat dokumenter. Debut dokumenternya berjudul Padang in Carnival pada waktu itu hanya berbekal bujet 400 ribu. Peralatan untuk mengambil gambar pun masih banyak yang meminjam. Kru yang terlibat dalam proses produksi dibayar ala kadarnya, hanya konsumsi dan rokok saja. Tidak ada perencanaan dan pendanaan yang memadai.
“I don’t have money, nor do I know someone with money. Filmmaking is definitely not for me.” (Aku tak punya uang dan kenal dengan orang beruang. Membuat film sudah pasti bukan jalanku.)
Itulah yang ada di pikiran Lidia saat itu sebelum akhirnya memutuskan untuk hiatus dari dokumenter. Namun, tampaknya dokumenter tak mengizinkan Lidia berpaling darinya.
Setelah mandek dan tidak membuat film selama kurang-lebih delapan tahun, Lidia kembali mendapat tawaran dari temannya untuk menggarap proyek dokumenter. Akhirnya, pada 2018, mereka membuat dokumenter untuk diikutsertakan dalam kompetisi IF/Then Short Pitch Competition. Dari situ, Lidia mulai giat mengikuti sesi mentoring dan masterclass hingga berpartisipasi dalam forum pitching. Lidia mulai mempelajari cara merencanakan bujet, lini masa produksi, hingga strategi distribusi dokumenter dengan serius. Koneksinya dengan para pembuat film lain pun mulai melebar.
Dalam ranah festival, Lidia mengatakan penting bagi pembuat film untuk melakukan riset terlebih dahulu guna mencari tahu karakteristik dari film-film lain yang telah lolos festival sebelumnya. Tak semua festival harus diikuti. Pilih yang paling cocok dengan tema dan jenis dokumenter yang telah dimiliki. Ini berarti, pembuat film harus senantiasa pintar berstrategi. Ketika mendaftar, Lidia mengingatkan para peserta untuk tidak lupa menyiapkan seluruh komponen kelengkapan yang diminta oleh penyelenggara festival. Jika diperlukan, pembuat film dapat meminta bantuan dari publisis atau peer review untuk membantu proses tersebut.
Dari perjalanannya, Lidia mempelajari banyak hal, termasuk menyadari bahwa menjadi produser tidak hanya soal pintar mencari sumber pendanaan untuk menyelesaikan proyek filmnya. Menjadi produser berarti juga menjadi penulis, advokat, sekaligus politisi bagi dokumenternya sendiri. Ia juga mulai mengetahui pentingnya membuat kontrak dengan rekan kerja, meskipun rekan tersebut adalah sahabatnya sendiri. Perlu ada batasan penyekat antara ranah personal dan profesional. Namun demikian, saling percaya dan menghormati peran rekan kerja pun tetap tak boleh diacuhkan.
Kepada para peserta IDOCLAB, Lidia mengutarakan pentingnya kemampuan komunikasi dan negosiasi. Berkat kemampuan ini, tentu juga ditunjang dengan keahliannya dalam memproduseri, Lidia mampu menembusi berbagai festival film bergengsi. Menjaga hubungan baik dengan siapapun, termasuk mentor dan tamu industri yang ditemui di lokakarya dan forum-forum dokumenter, adalah sebuah keharusan. Membuat kartu nama profesional juga penting untuk dibagikan dalam berbagai kesempatan. Lidia juga berpesan, jangan sungkan untuk bertanya ketika menemui kendala dalam pengerjaan proyek dokumenter. (Hesty N. Tyas)
Diliput pada 21 Oktober 2023 pada Lokakarya Tahap 1 IDOCLAB 2023 di DI Yogyakarta.