Post-cinema
Ketika sinema tidak lagi menjadi media dominan melainkan bagian dari sebuah lanskap yang lebih kompleks dan terhubung secara digital, ia secara perlahan membentuk pengalaman dan common sense kita dalam kehidupan sehari-hari. Kemunculan berbagai media digital telah mengubah cara film atau video diproduksi dan dikonsumsi, membuatnya membentuk pengalaman estetika baru serta mengantarkan kita pada era di mana teknologi dan budaya mampu menciptakan “struktur perasaan” baru, seperti pendapat Steven Shaviro atas post-cinema. Munculnya teknologi akal imitasi (AI) adalah era yang membawa kita pada meditasi panjang tentang gambar bergerak.
Program Perspektif tahun ini berupaya membuka diskusi dan melihat berbagai praktik media kontemporer yang direkam oleh para pembuat film. Their Eyes (Nicolas Gourault, 2025) menggambarkan bagaimana para pekerja di negara Global South melatih teknologi AI dengan menandai objek pada foto atau video. Merekalah para pekerja di balik layar teknologi yang membuat mobil swakemudi dapat di navigasi di negara Global North. Perjumpaan dan perjalanan dalam jaringan dengan montase gambar dari Google Street View dengan satir pada Machine Vacations (Hadafi Raihan Karim, 2025) menggeser perilaku pengguna internet dari mesin pencari konvensional menjadi algoritma tertentu yang tidak mudah dipisahkan. Televisi Sirkuit Tertutup (CCTV) merupakan salah satu fitur keamanan yang selalu berkembang, mampu menangkap gambar sebanyak 15 frame per second, sedangkan peluru yang ditembakkan oleh polisi hanya mampu terekam selama 67 millisecond. Hasil rekam gambar dari CCTV dalam Sixty-seven Milliseconds (Fleuryfontaine, 2025) menambahkan elemen realisme yang tepat tanpa mengurangi unsur investigatif di sepanjang cerita dengan memadukan Teknik sinema awal krono fotografi menggunakan CGI. Tiga film tersebut telah melampaui konsep produksi konvensional dengan penggunaan kamera film, seolah ini adalah cara lain yang mengajak kita mendefinisikan ulang bentuk film dokumenter di era post-cinema.
Empat seniman bereksplorasi menggunakan berbagai jenis “kamera” dalam reka cerita Ep.10 Reality Sandwich: Jogja Chronicles (Ho Bin Kim, 2025) yang mempertanyakan kita dalam mendefinisikan sekaligus memeriksa kembali pergeseran-pergeseran yang diutarakan dalam cerita ini. Di bagian dunia lain, The Orchards (Antoine Chapon, 2025) membawa kita mengenang sebuah distrik di Damaskus, Suriah, yang diratakan dengan tanah sebagai hukuman karena penduduknya memberontak terhadap rezim penguasa. Dalam film ini, para mantan penduduk dihadapkan dengan komputer yang memuat model 3D baru distrik tersebut dengan berbagai imaji grafiti politis untuk mengenang perjuangan mereka.
Era post-cinema tidak semata meninggalkan produk dan praktik sinema konvensional yang telah berlangsung lebih dari seabad. Program ini juga berupaya menawarkan kompilasi berbagai kisah yang menjaga napas sinema melalui telusur konvensional. Dalam beberapa tahun terakhir, feminisme telah mendapatkan perhatian signifikan di Tiongkok. Hal ini bertepatan dengan meningkatnya kesadaran perempuan dan perjuangan mereka dalam Becoming a Film Director (Rongfei Guo, 2025) yang memberi perspektif baru dan mendorong kita untuk merenungkan perjalanan yang penuh tantangan. Perjuangan lain dalam Series of Actions (Chanasorn Chaikitiporn, 2024) mengisahkan asal-usul gagasan pengarsipan film di Thailand yang terkait dengan jaringan sosiopolitik yang kompleks. Lewat eksplorasi karya Dome Sukvong, pendiri Thai Film Archive, film ini memberi kita kesadaran tentang pentingnya aktivitas dan aktivasi pengarsipan film dalam peradaban sebuah negara. Seperti simfoni kota 1920-an, Few More Centuries (Raphaël Martin-Dumazer, 2025) menampilkan proses restorasi sebuah film 35 mm, merekam lokasi-lokasi sinema ikonis Prancis. Film pendek ini mengungkap proses yang cermat, memadukan teknis, dan mempertanyakan masa depan preservasi film.
The New Ruins (Manuel Embalse, 2024) membawa kita pada refleksi panjang mengenai apa dan bagaimana dampak post-cinema yang tidak hanya terjadi dalam layar, tetapi juga di luar layar dengan menampilkan obsesi yang mengeksplorasi hubungan antara limbah elektronik yang merekam gambar, teknologi, dan ingatan. Kemajuan teknologi mutlak memengaruhi kehidupan kita yang semakin cepat, dan film ini telah bertransformasi dalam bentuk buku harian pribadi yang ceria, musikal, melintasi batas dan arsip itu sendiri. Pembacaan ini tidak hendak melangkahi apa yang kita definisikan sebagai post-cinema dalam praktik hari ini dan meninggalkan sinema konvensional, melainkan merujuk pada cara baru dalam produksi, ekshibisi, hingga membentuk pengalaman estetika baru.









