Beyond Provenance

Catatan Program

Beyond Provenance merupakan respons terhadap upaya pemerintah Belanda (2023) untuk mengembalikan sejumlah artefak yang dijarah dari Indonesia. Inisiatif transnasional ini mengeksplorasi bagaimana film dan kolaborasi dapat mengevaluasi kembali narasi seputar restitusi. Dengan menyoroti tiga artefak yang baru saja dikembalikan, masing-masing dengan sejarah dan fungsi yang beragam, duet seniman asal Indonesia dan Belanda berkolaborasi untuk setiap artefak. Tiga karya video yang menantang dan sangat kontras dilahirkan, yaitu mengenai Durga Mahisasuramardini (Dyantini Adeline [ID] dan Vladimir Vidanovski [MK]), Keris Klungkung (Taufiqurrahman Kifu [ID] dan Hattie Wade [UK]), dan Lombok Treasure (Kae Oktorina [ID] dan Christopher Tym [UK]). Proyek ini diinisiasi oleh wysiwyg Cinema (Den Haag, Belanda) dan Indeks (Bandung, Indonesia).

Sesi diskusi didahului dengan pemutaran film dalam kompilasi Beyond Provenance, yaitu Idak-Idak-Idak (Kae Oktorina, Christopher Tym; 2025), Sharp Objects (Taufiqurrahman Kifu, Hattie Wade; 2025), dan The Stone That Remembers (Dyantini Adeline, 2025).

Jadwal

Kedai Kebun Forum
27 November 2025, 13:00 WIB

Bahasa Pengantar

Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia

Pembicara

Rizki Lazuardi

Kurator

Rizki Lazuardi (lahir 1982) adalah seniman dan kurator Indonesia yang aktif bekerja dengan media gambar bergerak dan sinema eksperimental. Setelah menyelesaikan studi filmnya di HFBK University of Fine Arts Hamburg, Lazuardi melakukan riset artistik tentang arsip kolonial di Netherlands Institute for Sound and Vision. Selama dekade terakhir, berbagai karya Lazuardi berusaha mengungkap dinamika kekuasaan yang terjalin dalam praktik pengarsipan, baik pada tingkat formal-institusional maupun amatir-vernakular. Karya dan program kuratorialnya telah dipamerkan di Image Forum Tokyo, Berlinale Forum, EMAF Osnabrück, Jakarta Biennale, TOKAS, dan Yamagata International Documentary Film Festival. Instalasi film multi-saluran terbarunya, Operation Thunder Tooth, merupakan salah satu karya yang dikomisikan oleh Singapore Biennale 2025. Selain praktik studionya, Lazuardi juga menginisiasi Palapa Screening Program, platform sinema mikro untuk berbagai jenis film alternatif di Bandung, Indonesia.

Taufiqurrahman Kifu

Sutradara Sharp Objects (2025)

Taufiqurrahman Kifu (Indonesia, 1994) menggunakan seni sebagai ruang eksperimentasi dan artikulasi gagasan. Ia fleksibel dalam menentukan media seni yang ia gunakan, memproses keunikan masing-masing media sebagai konstruksi dan potensi bahasanya. Pada 2021, ia mendirikan MUTUALS, sebuah kelompok seni yang berfokus pada studi dan metode pembuatan seni dalam budaya media saat ini, yang berpijak pada konteks lokal masing-masing. Ia telah mengkurasi beberapa pameran seni dan menjadi kurator program ARKIPEL 2025. Saat ini, ia menjabat sebagai Artistic Director untuk Festival Film Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Hattie Wade

Sutradara Sharp Objects (2025)

Hattie Wade (Inggris, 1993) adalah seniman berbasis riset. Praktik seninya berakar pada ketertarikan terhadap penyebaran informasi, serta keinginan untuk melawan dominasi narasi sosial dan institusional yang mengancam. Ia tertarik pada cara kekerasan institusional masa lalu direproduksi melalui kerangka hukum dan legislatif, perlindungan warisan budaya, serta penyebaran narasi-narasi tersebut ke dalam masyarakat. Ia melakukan riset kritis, membongkar, dan membangun kembali apa yang tidak terlihat dengan cara yang nyata, dalam bentuk karya digital, video, dan spasial.

Kae Oktorina

Sutradara Idak-Idak-Idak (2025)

Kae Oktorina adalah seniman media yang karya-karyanya mengeksplorasi hubungan antara manusia dan alam, persepsi sensorik, serta memori budaya. Karyanya sering memanfaatkan video, animasi, dan media eksperimental untuk menciptakan pengalaman imersif yang mempertanyakan cara kita menghuni lanskap—secara fisik, emosional, dan historis. Meskipun proyek-proyek sebelumnya berfokus pada narasi lingkungan dan pertentangan antara dunia alam dan buatan, dalam Warne Mata, Kae mengalihkan perhatiannya ke sejarah: khususnya, bagaimana warisan kolonialisme terus membentuk identitas, memori, dan rasa memiliki. Terlepas dari tidak adanya pengalaman dengan sinematografi spektrum penuh, ia mengadopsi teknik ini karena kemampuannya untuk mengungkap lapisan-lapisan realitas yang tak terlihat—seperti halnya cerita-cerita tersembunyi di dalam batu permata itu sendiri.

Moderator

Kurnia Yudha F.

Pembuat Film

Kurnia Yudha F. adalah pembuat film dokumenter berbasis di Yogyakarta. Ia belajar mendalami produksi film dokumenter secara otodidak dan mengikuti beberapa lokakarya film dokumenter. Saat ini, Yudha duduk sebagai direktur Forum Film Dokumenter, sebuah organisasi nonlaba yang berfokus pada perkembangan dokumenter di Indonesia. Yudha juga aktif bekerja sebagai sutradara lepas dan juru kamera dokumenter.