Kompetisi Pendek

Catatan Program

Pertumbuhan dokumenter pendek Indonesia diwarnai tak hanya dengan topik yang beragam, tetapi juga eksplorasi cara tutur yang di luar kebiasaan. Dalam durasi yang terbatas, pembuat film ditantang untuk dapat menyampaikan gagasannya dengan efisien. Tahun ini, 7 film dalam program Kompetisi Pendek dirasa dapat mewakili dinamika dokumenter pendek Indonesia dalam satu tahun terakhir. Mulai dari penelusuran sejarah, kepercayaan adat, eskapisme trauma, hingga pertanyaan mengenai identitas diri bergulir satu per satu dalam film-film pada program ini. Presentasi narasi-narasi tersebut diwakili oleh cara tutur yang tak melulu sesuai “pakem”, tetapi juga berani menembus batas tak terlihat mengenai bagaimana dokumenter pendek seharusnya disuguhkan.

Seluruh film dalam program Kompetisi Pendek diharapkan dapat menawarkan pembacaan tak hanya tentang sejauh–atau sedekat–apa perkembangan dokumenter Indonesia saat ini, tetapi juga mempertanyakan ulang tentang perkembangan seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan dokumenter kita.

Juri

Yuki Aditya

Yuki Aditya merupakan lulusan Jurusan Administrasi Fiskal Universitas Indonesia dan sempat bekerja sebagai Auditor Perpajakan di sebuah Kantor Akuntan Publik di Jakarta. Sejak 2013, ia mengisi posisi sebagai Direktur Festival ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival. Yuki merupakan produser dari film-film yang diproduksi oleh Forum Lenteng, meliputi Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema (2018), Om Pius… This is My Home Come the Sleeping (2019), Dolo (2021). Bersama I Gde Mika, ia menyutradarai The Hypothesis of Wandering Images of Jakarta (2021) dan The Myriad of Faces of Future Challengers (2022).

Natalie Khoo

Natalie Khoo adalah pengelola program dan outreach executive Asian Film Archive (AFA), di mana ia mengkurasi dan mengkoordinir program yang berfokus pada sinema Asia. Ia menjadi kurator untuk program Y2K DreamZ–tentang film Asia di pergantian milenium baru, Orienting Paradise–yang meneliti bagaimana para pembuat film Barat memproyeksikan hasrat dan kecemasan mereka terhadap Asia–dan proyek esai yang ditugaskan, Monographs 2023: sinking, shifting, stirring. Natalie juga seorang seniman gambar bergerak dan pembuat film yang karyanya telah diputar di Objectifs, Queer East Film Festival, dan Kurzfilm Festival Hamburg. Sebelumnya, Natalie bekerja sebagai pengelola program film di National Gallery Singapore.

Jason Iskandar

Jason Iskandar, seorang sutradara Tionghoa-Indonesia dan pendiri Studio Antelope di Jakarta, mendalami identitas etniknya dalam kerangka sosiokultural Indonesia. Film-film pendeknya, Seserahan dan The Day The Sky Roared, telah diputar di festival film terkemuka seperti Busan dan Singapura. Pada 2021, film panjang perdananya yang diproduksi bersama BASE Entertainment dan Ivanhoe Pictures, Akhirat: A Love Story, menempati peringkat ke-15 dalam film dengan pendapatan terbesar di tahun tersebut. Saat ini, Jason sedang mengerjakan First Breath After Coma yang didukung oleh beberapa dana hibah dan dipilih untuk lab film ternama termasuk Southeast Asian Film Lab, Full Circle Lab, Produire au Sud, dan Ties That Bind.

Komite Seleksi

Agus Mediarta

Agus Mediarta aktif di Yayasan Konfiden (2002–2014) dan terlibat dalam kegiatan perfilman berbasis komunitas hingga tahun 2018. Sepanjang di Konfiden, selain sebagai programmer Festival Film Pendek Konfiden (2006-2009), Agus turut mendirikan filmindonesia.or.id (FI), situs web katalog film Indonesia, dan menjadi salah satu pengelolanya hingga saat ini. Di luar aktivitasnya mengelola situs web FI dan peneliti lepas, sejak 2013 ia menjadi pengajar di Program Studi Film & Animasi, Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Saat ini, Agus tercatat sebagai anggota KAFEIN (Asosiasi Pengkaji Film Indonesia).

Amalia Sekarjati

Amalia Sekarjati–dipanggil Sekar–biasa berkegiatan lepas ke sana kemari dalam aktivitas belakang layar di bidang seni budaya. Saat ini tengah mempelajari kearsipan, khususnya yang terkait dengan bidang seni budaya tersebut. Semangatnya adalah menjelajahi kemungkinan dan merayakan pertemuan melalui berbagai kegiatan yang ia jalani.

Franciscus Apriwan

Apriwan pernah bekerja sebagai programmer di Festival Film Dokumenter (FFD) dan staf peneliti di Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada. Belakangan, ia banyak melakukan penelitian untuk membuat strategi kebijakan dan policy brief atas persoalan-persoalan perubahan sosial dan kebudayaan di Indonesia. Selain penelitian, ia juga melakukan kerja-kerja kolaboratif multi-disiplin yang mengembangkan medium seni dalam pembuatan etnografi, terutama melalui film dokumenter dan eksperimental. Pada tahun 2019, Apriwan mulai bekerja sebagai dosen di Program Studi Antropologi Universitas Brawijaya.