Naik Mesin Waktu: Sebuah Perbincangan Bersama Timoteus Anggawan Kusno

12—11—2022
Interview

Timoteus Anggawan Kusno (Angga) akhirnya berhasil tiba di Sekretariat Festival Film Dokumenter (FFD) setelah berjuang menerjang hujan angin di sepanjang jalanan Yogyakarta. Berbalut jaket parasut, ia masuk dan mulai menyapa satu per satu kru FFD dengan senyum terbesut. Angga merupakan salah satu seniman kolaborator FFD tahun ini. Ialah dalang di balik pembuatan video bumper yang ditayangkan pada awal program film yang diputar. Angga juga merupakan seorang seniman yang produktif dalam berkarya dan berpameran, baik itu di ruang-ruang lokal maupun di panggung internasional. Baru-baru ini, ia sempat digamit oleh Rijksmuseum, Amsterdam, untuk ikut berkolaborasi dalam pameran bertajuk “Revolusi!”. Kami berkesempatan untuk mewawancarai Angga di tengah-tengah kesibukannya. Berikut adalah hasil ngobrol santai kami.

AWAL KETERTARIKAN TERHADAP DUNIA SENI

Masih terekam jelas bagaimana fragmen-fragmen masa lalu menjadi pembuka pintu ketertarikan Angga pada dunia seni, khususnya fotografi. Kakeknya merupakan pemilik kios afterphoto. Sementara ayahnya, yang berprofesi utama sebagai seorang guru, juga sempat membuka usaha cuci-cetak foto di Bengkulu. Bagi Angga, ingatan tentang bagaimana foto-foto itu diproses sangatlah ajaib, kuat, dan membekas. Itu juga yang menjadi persinggungan pertamanya dengan dunia seni—lewat jalur fotografi.

 

Angga mendapatkan kamera pertamanya dari sang ayah dan kakek ketika duduk di bangku SMA. Berbekal kamera dan keingintahuan, Angga mulai melakukan eksperimen dan eksplorasi di bidang fotografi secara lebih mendalam. Ia bergabung dengan klub fotografi di sekolahnya, De Britto Photography Club, yang setiap tahun berkesempatan untuk menggelar pameran. Pengalaman berpameran itu sangat berkesan bagi Angga. Momen-momen Itulah yang menjadi awal ketertarikannya pada dunia seni dan fotografi.

 

Gelora eksplorasi yang menggebu-gebu menuntun Angga untuk melangkah lebih jauh lagi; membuka ruang-ruang eksperimen di berbagai lini lain di bidang seni. Dari fotografi, ia mencoba videografi, kemudian juga grafiti. Kariernya bermula pada 2007. Waktu itu, Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) membuka open call. Angga masih semester dua ketika ia memutuskan untuk membuat proposal dan melakukan submit karya. Gayung bersambut, karyanya ternyata lolos kurasi. “Ternyata reaksi atas karyaku cukup positif, jadi dari situ semangat buat coba eksplor terus”. Pintu-pintu kesempatan mulai terbentang luas. Di tahun yang sama, Angga mendapat undangan untuk terlibat dalam pameran Biennale Jogja. Setelahnya, ia tak pernah berhenti bereksplorasi dan berkelana di beberapa bidang seni. 

 

Bagi Angga, proses eksplorasinya dalam bidang ini dapat dianalogikan seperti perjalanan. Di sepanjang jalan, ada banyak hal dan pertanyaan yang mengusik sekaligus menantang untuk diuraikan. “Gimana kalau ini aku proses jadi pengalaman artistik, bentuknya karya seni? Entah itu lewat video, instalasi, atau tulisan?”. Temuan-temuan artistik yang kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengusik itu banyak didapatkan Angga dari proses membaca, mengobrol, dan menonton film. Baginya, proses penciptaan karya adalah proses tentang bagaimana merasakan realitas yang terjadi di sekelilingnya. “Upaya untuk memahami realitas,  yang kemudian dibahasakan melalui karya.”, tuturnya.

 

KEGEMARAN MENARASIKAN ULANG MEMORI SEJARAH 

Sejarah seolah menjadi satu-satunya jalan untuk memahami dan menelisik kebenaran yang ada di masa lalu. Angga mendapati kenyataan bahwa sejarah dinarasikan secara tunggal sekaligus berkelindan dengan struktur penciptaan fiksi dalam hal naratologi. “Kenapa tanggal yang mendapat highlight yang ini; bukan yang lain. Kenapa peristiwa yang ditampilkan yang ini;  bukan yang lain. Proses-proses memilih dan menjahit itu menarik untuk dibongkar.”

Bagaimana sejarah dinarasikan, dibicarakan, dan menjadi semacam pegangan untuk bisa memahami masa lalu adalah hal penting bagi Angga. Selain itu, perjalanan hidupnya yang kebetulan melintasi masa kediktaktotan rezim orde baru dan transisi menuju masa reformasi membuatnya berefleksi dan meneropong bagaimana kekuasaan bekerja dan menggunakan “sejarah” sebagai sebuah piranti yang sakral dan ampuh. Angga mengamati, di masa Soeharto, materi sejarah yang ia dapatkan cenderung tertutup dan rapat. Dari situ, ia memiliki aspirasi untuk dapat merefleksikan bagaimana cara kerja sejarah terhadap kekuasaan melalui proyek-proyek seninya. “Itu semua tentang pengalaman personal dalam membaca sejarah.

 

PERJALANAN MENJEMPUT PENGALAMAN KETUBUHAN

Dalam proses pembuatan instalasi untuk salah satu ekshibisi karyanya yang cukup terkini, yakni Luka dan Bisa Kubawa Berlari (2022), Angga berkeliling selama dua tahun demi bisa mengumpulkan dan mengutuhkan nyawa dari pamerannya tersebut. Berbekal sepeda motor, ia merekam suara dari berbagai tempat yang menyimpan kenangan akan perlawanan dan perjuangan merebut kemerdekaan. Suara-suara itu direkam, disimpan, dan difransformasikannya menjadi suatu pengalaman aural yang dapat dirasakan langsung oleh pengunjung ketika berada di dalam ruang ekshibisinya. Kami bertanya-tanya, apa yang Angga dapatkan dari metode “jalan-jalan” tersebut. “Harus ada pengalaman ketubuhan untuk berada di sana, untuk menstimulasi imajinasi. Jadi, baunya seperti apa, bunyinya kayak gimana, dan lain sebagainya.” 

 

Setiap perjalanan selalu berpengaruh dalam proses penciptaan karya Angga, karena di dalamnya pasti terdapat impresi-impresi tertentu yang turut membangun arah dan rasa yang hendak dihadirkan di dalam karyanya. Perjalanan adalah metodenya untuk olah rasa.

 

SEJARAH, SASTRA, DAN KEMERDEKAAN YANG SEMU

Angga mengaku banyak berurusan dengan sastra selama proses berkaryanya. Memoar Tanah Runcuk (2014) merupakan salah satu ekshibisi Angga yang terbit sebagai bentuk respons artistiknya terhadap pembacaan buku Max Havelaar. Ia merasa seolah-olah diajak untuk mengalami peristiwa masa lampau, tetapi dengan cara yang, ia sebut, sangat manusiawi. Bagi Angga, roman-roman sejarah mampu menghadirkan masa lalu, dengan berbagai kompleksitasnya, secara gamblang. Sejarah dan sastra selalu berkelindan. Ia seperti diajak naik ke mesin waktu dan dilemparkan masuk ke dalam periode-periode tertentu untuk kemudian ikut merasakan bagaimana atmosfer, tekanan, serta tragedi-tragedi yang terjadi di masa itu.

 

Bagi Angga, sejarah semestinya hadir sebagai sesuatu yang menyimpan banyak pertanyaan dan tegangan. Mesti ada pengalaman unik sekaligus mengusik yang dihadirkan. Pengalaman-pengalaman itulah yang kemudian akan memantik daya imajinasi yang menjadi amunisi dalam proses penciptaan karya Angga. “Gimana kalau ini dipantulkan balik ke dalam suatu media? Sesuatu yang bisa mengajak orang buat ikut ke masa lalu.”

 

Karya-karya Angga, yang beberapa di antaranya dapat kita intip melalui laman takusno.com, kental akan semangat revolusi. Kami bertanya kepada Angga, saat ini, di mana sesungguhnya posisi kita? Apakah kita benar-benar sudah terlepas dari penjajahan?

 

Menurutnya, kolonialisme sebagai satu periode sejarah itu memang sudah kita tempatkan di masa lalu. Kita pun sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak jauh-jauh hari. Namun, terdapat problem yang tidak kita sadari. Problem itu ialah matriks-matriks kekuasaan dan sistem pikir kolonialisme yang secara tidak sadar terus beregenerasi hingga hari ini. Bagi Angga, itu yang menuntut untuk diuraikan. Ada struktur-struktur kekuasaan yang berhasil kebal dari keruntuhan kolonialisme dan masih bertahan sampai hari ini.

 

“Ketika kita berhak untuk menentukan nasib kita sendiri. Kebebasan untuk berpikir. Bertanggung jawab atas pikiran dan tindakan kita. Lepas dari ketergantungan—yang sebenarnya itu sendiri masih dalam proses, ya.”

 

FFD DAN MODUS KEKARYAAN

FFD merupakan satu perhelatan penting yang mampu menawarkan satu cara pandang baru untuk melihat realitas. Angga mengungkap, konsep tersebut mirip dengan modus kekaryaannya. “Kita butuh banyak kacamata, perspektif; untuk melihat pengalaman kita dan pengalaman sesama kita yang hidup di tempat-tempat lain. Bagaimana pengalaman hidup itu bisa dihadirkan lewat film dokumenter. Ini perlu. Sangat perlu.”

 

Angga banyak bekerja dengan upaya untuk menelusuri struktur penciptaan fiksi. Dari situ, ia melihat bagaimana kerja-kerja authorship dihadirkan. Hal tersebut tak jauh berbeda dengan bumper yang ia siapkan untuk FFD tahun ini. Di bumper yang berdurasi satu menit tersebut, Angga menyuguhkan pengalaman “misteri” lewat langkah-langkah kaki yang berjalan. Langkah-langkah itu adalah milik orang-orang yang bekerja di balik layar dunia perfilman, yakni para penata gambar dan kawan-kawannya yang sedang bekerja melukis cahaya menggunakan kameranya. 

 

“Pertanyaan siapa yang mem-framing siapa. Siapa yang menonton siapa. Ada interpretasi pertanyaan yang dihadirkan sebelum film diputar. Kerja membuat interpretasi itu jadi eksperimentasi yang menarik, bahwa ini ada kamera yang sedang bekerja untuk film yang akan ditonton, ada yang kerja di balik proses itu; sehingga membongkar lagi lapisan realitas; siapa yang memotret realitas; bagaimana realitas itu dihasilkan.”

 

FFD SEBAGAI TUBUH

Kami mengibaratkan FFD sebagai suatu instalasi, kemudian bertanya kepada Angga, bagaimana posisi FFD dalam ikut menarasikan sejarah dan memori yang terekam dalam tiap-tiap film yang akan ditayangkan nantinya? Menurut Angga, “Ini (FFD) adalah satu alternatif untuk melihat realitas. FFD jadi satu cara untuk melihat posisi kita di tengah dunia yang bergerak; dengan masalah-masalah. Harapannya bisa memantik solidaritas, sehingga kita sadar, kita tidak sendiri di tengah masalah di tengah dunia yang bergerak ini.”

 

Tahun ini, FFD sudah memasuki kepala dua, tepatnya usia 21 tahun. Usia-usia tersebut biasanya diasosiasikan dengan kematangan dan kedewasaan. Apakah FFD mengalami asosiasi tersebut? Menurut Angga, sebagai suatu perhelatan, FFD memang terus tumbuh di tengah dunia yang juga terus bergerak. FFD menawarkan alternatif cara melihat. Sangat relevan untuk melihat perubahan di sekitar kita; baik perubahan dalam medium menangkap realitas maupun realitas itu sendiri. 

 

Ditulis oleh Hesty N. Tyas | Disunting oleh Vanis

 

Bagikan ini
Login