Yogyakarta, 17 November 2022 – Rangkaian pertemuan dan lokakarya intensif komunitas dokumenter Indonesia masih berlanjut dengan pembahasan mengenai relasi kerja di belakang layar produksi dokumenter besama Shalahuddin Siregar, seorang sutradara dokumenter.
“Dokumenter pendek itu yang paling liar dan kreatif.” – Shalahuddin Siregar
Dalam pemaparannya, Shalahuddin menyinggung mengenai etika dalam produksi film secara umum dan dokumenter secara khusus. Etika dalam produksi film itu sangat krusial, berkaitan dengan adanya relasi yang luas, tidak hanya kepada narasumber, tetapi juga funding. Kerap kali, hubungan-hubungan ini tidak terjaga dengan baik, implikasinya adalah munculnya praktik-praktik yang tidak etis, seperti jam kerja yang terlalu panjang hingga kru yang tidak dibayar.
Maka, menurutnya ada prinsip-prinsip yang seharusnya diutamakan, yakni keberlanjutan (hubungan harus dijaga dengan baik agar produksi film terus berjalan), keadilan, dan transparansi. “Seharusnya kita tidak menyimpan sesuatu kepada narasumber (dalam ranah dokumenter)“, tuturnya.
Selain disisipi menonton bersama cuplikan film pendek untuk didiskusikan bersama, obrolan ini juga mengarah pada topik pendanaan dan pitching dalam film. Secara sederhana, pendanaan ini menjadi sebuah tanggung jawab filmmaker untuk memproduksi film yang setara dengan nominal dana yang digelontorkan tersebut. Menyambung percakapan DOC Forum sebelumnya yang dipantik oleh Jewel Maranan, Shalahuddin menyatakan sepakat bahwa ketika telah mencapai ranah internasional, teknis juga harus diutamakan. Selain itu, ketika relasi semakin luas, reputasi dan kepercayaan itu yang harus dipegang kuat.
Sebelum membuat proposal, hal yang paling mendasar dan perlu dipersiapkan adalah menjawab pertanyaan: seberapa pentingkah film ini untuk diproduksi?. “Ini bukan sesuatu yang baku, boleh ada yang berbeda, tetapi aku menggarisbawahi kata inovatif dan relevan dalam masalah sosial.”, tuturnya.
Inovasi menurut Shalahuddin adalah bentuk dokumenter yang tidak tradisional. Kemudian, isu yang diangkat juga harus relevan, urgensi menjawab mengenai kapan film itu dibuat juga selalu menjadi pertanyaan. Terakhir, masalah sosial. Menurut Shalahuddin, membosankan ketika masalah sosial yang diangkat itu-itu saja, misal kemiskinan dan social justice. Itu yang perlu dibahas lebih dalam lagi untuk kemudian dicari celah-celahnya.