“Meet the Partian …”
Begitulah narasi pembuka film dokumenter berdurasi 8 menit 40 detik ini. Partian merupakan sebutan lain bagi Martian. Martian sendiri merupakan istilah hipotesis untuk menyebut makhluk/koloni manusia yang berada di Planet Mars. Hadafi Raihan Karim, sutradara, menghadirkan Partian lewat sesosok manusia yang terbungkus dalam kostum astronotnya.
Adegan dimulai dengan kemunculan Partian di tengah lanskap suatu tempat yang—menurut narasi di atas—dapat kita asumsikan sebagai “Planet Mars”. Bongkahan bebatuan warna cokelat-keemasan tampak berserakan. Partian melangkah dengan penuh kehati-hatian. Untuk menambah kesan bak berada di luar angkasa sungguhan, Partian berjalan dengan efek mengambang. Terdengar pula suara napasnya yang seolah berembus-embus dengan bantuan oksigen buatan.
Namun, ada yang janggal. Di tengah pemandangan luar angkasa itu, Partian menemukan ekskavator mangkrak. Ia juga tampak mengamati kubangan kecil berisi air berwarna kehijauan. Berjalan lebih jauh lagi, Partian menemukan sebuah tunas tanaman yang tampak hidup berimpitan dengan pasir dan bebatuan. Di luar anomali tersebut, pada detik-detik awal film, Filmmaker seolah memang sengaja “menjebak” kita untuk masuk dalam imaji tentang kehidupan manusia di luar angkasa. Tak berselang lama, ekspektasi kita dijungkir-balikkan segera. Tiba-tiba, hadir sekawanan truk pengangkut hasil galian di depan Partian. Sejurus kemudian, potret “Planet Mars” menghilang; digantikan dengan pemukiman warga dan gemuruh aktivitas di dalamnya.
Tampak seorang warga sedang menyaring pasir tambang dengan sekopnya. Lucunya, Filmmaker menghadirkan adegan di mana Partian lantas justru membantu warga tersebut menyekopi pasir. Kamera kembali beralih merekam truk-truk yang malang-melintang di jalanan dengan muatan berupa material galian. Debu-debu mulai beterbangan dan mengaburkan pandangan.
“Planet Mars” yang mungkin dimaksud oleh Filmmaker adalah Bogor. Planet di dalam planet. Ucapan terima kasih yang tersemat di akhir film kepada segenap warga dari tiga kecamatan di Bogor, yakni: Cigudeg, Pasir Kalong, dan Parung Panjang, kiranya cukup menjadi petunjuk bagi penonton untuk menafsirkan adegan demi adegan yang dibawakan lewat sudut pandang seorang Partian. Tiga kecamatan tersebut merupakan tempat melintas-pintas bagi para truk pengangkut hasil tambang dari Gunung Maloko—sentra tambang galian C di Bogor. Dari batu andesit hingga pasir, saban hari diangkut oleh ratusan truk; melewati pemukiman warga, menerbangkan debu penyebab polusi udara, membawa bahan galian bagi kota-kota sekitar yang sedang sibuk dengan agenda pembangunannya.
Sekarang, mari kita kilas balik dari awal film. Kemunculan Partian, ekskavator tak bertuan, tunas tanaman di antara bebatuan, kubangan air berwarna kehijauan, hingga truk-truk yang yang ramai melintasi jalanan. Jangan-jangan, simbol-simbol dalam segmen film The Partian (2022) tersebut merupakan penanda bagi potret kehidupan di “planet” Bogor. Jangan-jangan, itu merupakan representasi dari aktivitas penambangan di Bogor yang selama ini telah merusak dan mencemari lingkungan, mengganggu ekosistem hutan, serta menyebabkan gangguan kesehatan–seperti sesak napas–bagi warga yang tinggal di sekitar. Jangan-jangan, efek warna sepia yang digunakan oleh Filmmaker di sepanjang film merupakan simbol bagi polusi udara yang sudah menjadi makanan sehari-hari di sana.
Oh, omong-omong, Partian itu siapa sebenarnya?
Ditulis oleh Hesty N. Tyas
Disunting oleh Vanis
Detil Film
The Partian
Hadafi Raihan Karim | 9 min | Indonesia | Color | 2021 | 15+
Non-Kompetisi: Spektrum
Jadwal Tayang
18 November 2022 | Bioskop Sonobudoyo | 15.00