Ikatan Solidaritas dalam Pita Film
Seorang perempuan duduk di sebuah meja restoran pinggir pantai, menulis surat sambil diabadikan oleh seorang juru potret. Angin yang bertiup, langit yang cerah, dan suara penyanyi kondang Umi Kalsum memberi kesan suasana santai, kontras dengan suara si perempuan yang bercerita bahwa suasana sedang genting di tengah perang. Posisi si perempuan, tak lain adalah Jocelyne Saab sendiri, menawarkan tempat yang sungguh berbeda dari posisi wartawan perang. Jocelyn mengundang penonton untuk datang ke kota asalnya di mana dia sendiri pun mulai merasa asing dan menangkap kegelisahan warga setempat. Dari sudut pandangnyalah kita menyusuri kota Beirut, berkenalan dengan teman-temannya dan memahami apa yang terjadi. Mari kita bayangkan, bahwa Beirut hari ini berada dalam kondisi yang tak jauh berbeda dengan di dalam film Letter From Beirut yang dibuat 46 tahun yang lalu.
Mengapa keadaan hari ini tak lebih baik dari hampir lima dasawarsa yang lalu? Kenyataan di dalam film-film Jocelyne Saab mengesankan bahwa kekerasan, perang, pengungsian, dan kecemasan yang sudah terekam pada tahun 1970-an itu menetap sampai hari ini. Perjuangan kemerdekaan dan keadilan di wilayah sekitar Lebanon seperti di Palestina, Yordania, atau Siria masih menemui jalan terjal dan penuh kehancuran. Dari dekat, Jocelyne merekam imaji perjuangan bertahan hidup dan penolakan untuk tunduk dari masyarakat. Rekamannya ini barangkali menyerupai apa yang dialami warga di wilayah yang sama saat ini.
Tiga karya Jocelyne Saab di edisi festival kali ini kami tampilkan sebagai salah satu dari banyak kesempatan dan saluran untuk melakukan upaya berempati dan belajar dari laku dan ungkapan solidaritas pembuat film yang dekat secara geografis dengan perjuangan kemerdekaan Palestina. Keberadaan masyarakat di Lebanon atau Yordania, wilayah yang bertetangga, amat sangat terpengaruh oleh kelangsungan perjuangan di sana, baik dari sisi ikut mengalami kekerasan dan kehancuran, maupun mengalami tumbuh dan merawat bersama semangat perlawanan.
Ketika konflik bersenjata terjadi, sebagai warga sipil kita sering disentakkan dan didorong ke dalam posisi sebagai penonton atau konsumen yang menerima atau menyerap berita. Film dokumenter memungkinkan kita melihat persoalan dan pengalaman konflik dengan cara yang lebih kompleks dan, dalam hal karya-karya Saab, lebih personal. Melalui tindakan menonton, mengobrol, berdiskusi, menulis atau berbagi berita, penonton festival memiliki pilihan untuk mengolah dan menjalankan perputaran wacana secara aktif. Dengan demikian, forum seperti Festival Film Dokumenter menyediakan diri sebagai platform penghubung dan saling menguatkan antara pengalaman dan karya dari Lebanon dan masyarakat yang hadir di Yogyakarta.
Terakhir, ketika film-film atau dokumen masa lalu hadir ke masa sekarang, hendaknya kita mengingat bahwa kemungkinan ini tidak begitu saja terjadi. Film-film itu ada yang melestarikan dan membawanya untuk tetap dapat bertemu penonton dan memperkaya ruang sirkulasi pengetahuan. Jika kita perhatikan, dokumen masa lalu yang dibuat sendiri oleh subyek dari masyarakat Asia-Afrika masih langka kita temui, meskipun akses sudah menjadi lebih terbuka dengan kanal-kanal digital yang tersedia. Kelangkaan akses dan ketersediaan ini dapat dijelaskan dengan ketimpangan kualitas infrastruktur, modal dan pengetahuan pelestarian di wilayah Asia-Afrika. Dengan menyediakan dan menonton program retrospektif mini seperti kali ini, kita semua maju selangkah bersama-sama untuk beranjak memperbaiki ketimpangan ini.
Terima kasih saya ucapkan untuk tim Festival Film Dokumenter yang menyambut baik gagasan retrospektif mini ini serta tim Association Jocelyne Saab (Jinane dan Mathilde Rouxelles) yang telah melestarikan film-film beliau. Tak lupa, ucapan terima kasih khusus saya sampaikan kepada peneliti Nathalie Rosa Bucher yang ikut memastikan bahwa program ini dapat dilaksanakan dan membukakan saluran komunikasi.
–Lisabona Rahman