Dalam sinema montase, image semata-mata dibangun demi penonton, yang pada awalnya dibangun untuk kepentingan membangun kesadaran dialektis melalui realitas image oleh para sutradara Rusia abad ke-20. Dalam perkembangannya, pendekatan ini bertumbuh kembang beralih membangun montase atau dekupase demi drama di dalam layar sinema. Telaah atas kemungkinan-kemungkinan jukstaposisi image dengan segala asosiasi “pengalaman” yang terbentuk melalui gambar bergerak ini, orientasi pada penonton ketimbang pada drama pada image, tidak luput dari pengaruh classical conditioning ‘konsepsi pengondisian’ khususnya penonton, yang siap menerima pavlov effect di dalam pendekatan sinema montase. Orientasi pada penonton ketimbang gambar inilah, yang kemudian anasir-anasir dalam film horor seperti memenuhi kerinduan akan hal-hal “kejutan” dan irasional dari rutinitas masyarakat modern yang membentuk budaya hantu.
Sejak masa kolonial, budaya hantu sudah melekat pada budaya tontonan bagi masyarakat Indonesia sampai hari ini. Figur hantu sendiri sebenarnya memiliki nilai politik, bagaimana hantu bisa mengacaukan batas-batas masa lalu dan masa kini, termasuk masa depan. Waktu menjadi tidak homogen dan linier, memiliki potensi untuk memprovokasi kesadaran historis. Di dalam sinema Indonesia, kehadiran hantu tidak jarang adalah semacam figur masa lalu, terhadap kesaksian atau peristiwa yang belum genap yang berlangsung di masa lalu. Dalam konteks Indonesia sendiri, potensi film hantu juga dipenuhi dengan stereotipe pada satu gender tertentu sebagai turunan terhadap budaya masyarakat Indonesia yang melingkupinya.
— Akbar Yumni