Bentang Sinema

Catatan Program

Sejarah tidak luput dari kanonisasi periode sebagai penanda puncak pencapaian dari sebuah peristiwa atau subyek yang berlangsung pada masanya. Pada era sinema digital sendiri, beberapa pembacaan para pengamat juga tidak luput dari kanonisasi sejarah sinema di era analog di mana anasir-anasir pembacaannya masih tidak lepas dari tradisi naratif dan tidak memperluas atau mengubah pengertian sinema di era media digital. Esensialisme sejarah seperti menyamaratakan sejarah sinema dari periode medium yang berbeda, khususnya bagaimana sejarah sinema di era digital sebenarnya memiliki perspektif yang berbeda dalam mengandaikan pengertian sinema, termasuk di dalamnya juga apa itu sejarah sinema–khususnya sinema Indonesia–yang pengertian sejarahnya itu sendiri juga diperluas atau diubah untuk menjangkau praktik-praktik sinema yang di era digital ini semakin beragam dan luas penggunanya. Keragaman menjadi penanda penting dalam perkembangan sinema Indonesia di era digital. Cairnya penggunaan medium digital inilah yang kemudian membentuk keragaman image, yang tentu saja, menghasilkan pola narasinya sendiri.

Program ini merupakan usaha menjangkau pembacaan keragaman praktik sinema era digital. Di dalamnya termasuk pembacaan yang serentak mengenai modus-modus praktik sinema dari beragam pelaku dan cara memproduksi image mereka. Ruang kompetisi secara sadar dan politis sangat dipenuhi beban rezim konvensional sinema di Indonesia, program nonkompetisi di dalam festival film menjadi pertaruhan berbagai gagasan sinema sebagai hasrat untuk keluar dari rezim kanon mazhab sejarah yang cenderung linier. Pada ruang nonkompetisi, butuh kepekaan lebih membaca keragaman sebagai bagian dari perlawanan rezim mazhab sejarah sinema Indonesia yang menunggalkan. Tentu saja ini bukan tantangan yang mudah, dan bagaimana membangun ruang nonkompetisi dapat berkontribusi pada sejarah sinema yang lebih terbuka dan cair.

Sejarah pada dasarnya adalah hal yang terbuka karena pembacaan atas sejarah juga berada pada situasi di mana dapat dicatat sebagai sejarah itu sendiri. Pendekatan-pendekatan menangkap keseharian juga tidak lepas dari cairnya penggunaan medium digital, termasuk bagaimana image adalah hal yang personal, yang membentuk keunikan narasinya sendiri–dan bukan sebaliknya. Empat film dalam program ini sendiri juga ruang terbatas yang berusaha menjangkau keragaman yang berlangsung di dalam sinema Indonesia. Penggunaan berbagai hal sensori menjadi penanda bagaimana cairnya medium digital dalam menggunakan suara yang membentuk image, termasuk penggunaan arsip personal, serta penggunaan medium lain di luar sinema seperti koreografi tubuh yang dimungkinkan dalam sinema digital.

Semoga ruang-ruang nonkompetisi justru menjadi penanda penting dalam membaca sejarah perkembangan sinema, serta perlunya pembalikan dan pemutusan paradigma epistemologi, di mana sejarah bukan lagi pada puncak-puncak peristiwa, seperti film pemenang festival, tetapi sebagai sesuatu yang tumbuh, terbuka, dan terus menerus diproduksi.

 

–Akbar Yumni