Kompetisi Panjang Indonesia menjadi etalase yang menawarkan cara pandang atas kompleksitas keberadaan dan keberdayaan atas apa yang terjadi di Indonesia kini. Keempat film dalam seleksi program tahun ini menggarisbawahi pentingnya film dokumenter sebagai sarana menggali lapisan ingatan dan pengalaman manusia. Ia berisi pandangan observasional tentang kehidupan pondok pesantren waria yang sarat kontroversi di Yogyakarta, meditasi ajeg tentang kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah setelah lebih dari 25 tahun reformasi demokrasi, potret biografi ekspositoris tentang seorang seniman yang tak memiliki pendidikan formal yang berlandas pada sentuhan dari jiwa, hingga kehidupan pastor Belanda yang datang ke Papua sebagai misionaris muda dan memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia.
Tantangan memunculkan film dokumenter dengan estetika dan teknis yang dapat menyokong cara tutur dan perspektif pembuatnya menjadi variabel yang berarti. Jumlah yang sangat sedikit tentu memengaruhi keberagaman dalam pendekatan yang pada akhirnya semakin sukar ditemukan. Program ini tidak hanya melihat sejauh mana dokumenter panjang Indonesia melangkah, tetapi menjadi refleksi tentang ke mana langkah tersebut menuju.