Bekerja dengan Cinta
Dalam praktik kehidupan keseharian kita, sering kali kita temukan seseorang atau kelompok yang bersikukuh dan gigih dalam menjalankan suatu hal yang diyakininya. Kegiatan itu—jika tidak bisa disebut sebagai kerja—bisa jadi merupakan hobi belaka, bisa jadi merupakan kegiatan tambahan yang mesti ia tekuni di samping pekerjaan sehari-harinya, atau bisa jadi merupakan pekerjaan sehari-hari yang tidak mendapatkan kompensasi atau gaji yang sesuai dengan beban kerjanya.
Praktik tersebut sering kali menyita pikiran, waktu, tenaga, dan emosi dari para pelakunya. Lantas, mengapa sebagian orang mau melakukan hal tersebut? Landasannya bisa jadi karena kecintaan personal. Misalnya, sekelompok orang yang sangat mencintai musik atau film kemudian melakukan kerja preservasi musik atau film. Atau ragam pekerjaan domestik seperti seorang anggota keluarga yang harus merawat kondisi anggota keluarganya yang kesusahan, seorang ibu yang merawat anaknya atau sebaliknya. Contoh lain, bagaimana sekelompok orang bersedia meluangkan tenaga, pikiran, waktu, biaya, dan perasaan mereka untuk menemukan identitasnya di tengah lapisan-lapisan konflik personal yang dialami. Praktik-praktik kerja ini sering kali dialami oleh seseorang atau kelompok yang tentu berada di luar kerangka ekonomi atau kerja-kerja yang barangkali jauh dari usaha untuk memenuhi kebutuhan domestik sehari-hari.
Manusia dibayangkan dapat menemukan jati dirinya melalui kerja, sementara dalam perkembangan kapitalisme lanjut, ragam pekerjaan justru banyak mengasingkan manusia. Kegiatan atau kerja-kerja yang didasarkan pada afeksi memiliki kemungkinan lebih besar bagi manusia untuk menemukan dirinya, tetapi pekerjaan ini justru berada di luar kerangka ekonomi. Dari pengalaman personal, dari ingatan personal, gerakan-gerakan kecil tumbuh. Lambat laun gerakan itu menjadi semangat yang terus hidup dan menghidupi pelakunya. Dari pengalaman dan ingatan personal tersebut, kita dapat menemui persoalan yang lebih besar. Lantas, bagaimana kita dapat memaknai pekerjaan ini secara lebih lanjut?
Program Perspektif tahun ini ingin menghadirkan bagaimana potret kegigihan dan ketahanan seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan praktik-praktik kerja yang barangkali berangkat dari landasan personal dan kemudian dapat kita baca untuk memahami persoalan struktural yang lebih besar.
Melalui My Father, Dr. G, kita dapat melihat lapisan antara perjuangan yang dilakukan seorang anak dalam mendukung ayahnya, dan seorang Ayah yang tengah berjuang dalam negosiasi struktur yang lebih besar dalam bidang obat-obatan. The Traditional Brazilian Family KATU menceritakan bagaimana identitas dalam komunitas adat diteguhkan melalui dokumentasi foto sebagai artefak ingatan. The Voice Remains menampilkan cerita tentang kerja-kerja rekonsiliasi dalam ranah domestik. A Mandolin in Exile menghadirkan bentuk-bentuk kerja di luar kerangka ekonomi untuk bertahan dan meneguhkan spirit kolektif melalui sajian musik. Between Fire and Water menghadirkan persoalan identitas personal yang harus dinegosiasikan dalam sebuah komunitas adat. Terakhir, Ketika Tunas Itu Tumbuh menyuguhkan bagaimana peristiwa “penghilangan” simbol kebudayaan yang terjadi di masa silam menjadi ingatan sekaligus semangat baru untuk meneguhkan identitas mereka melalui kegiatan/aktivitas komunal dalam wujud festival.
Enam film ini merepresentasikan tujuan program Perspektif, yakni membicarakan praktik kerja yang tidak hanya terpaku pada aspek ekonomi semata. Enam film ini dapat dinikmati dalam rangkaian Festival Film Dokumenter 2021.
Programmer: Irfan R. Darajat & Alwan Brilian
Di negeri tanpa harapan ini, yang dipenuhi dengan keputusasaan yang ekstrim dari perjuangan eksistensial, sinar harapan dinyalakan oleh seorang musisi pribumi.
Upaya Silvester, seorang pegiat seni dan ASN untuk menghidupkan dan merayakan kembali kebudayaan-kebudayaan yang selama ini dihilangkan oleh otoritas tertentu.
Camilo adalah anak angkat dari pasangan pribumi suku Quillasinga dari Cocha Lagoon di Kolombia. Dia adalah satu-satunya orang kulit hitam di komunitasnya.
Setelah menemukan bantuan yang efektif dalam ganja medis, Amiruddin Abdullah mulai mengobati pasien lain yang menderita penyakit kronis.
Pada tahun 2007, dua belas remaja dari Eleutério do Katu RN digambarkan dalam esai foto sebagai pengakuan atas akar pribumi mereka.
Tiga generasi perempuan dari keluarga yang sama memecah kesunyian sejarah panjang yang dimulai pada tahun 1939.