Catatan Kuratorial
Tahun ini, Perspektif mengajak penonton untuk berimajinasi tentang masa depan dengan merefleksikan apa yang tengah kita hadapi sekarang, hari ini. Alih-alih imajinasi futuristik yang penuh dengan jargon teknologi canggih sebagai solusi, kami ingin menghadirkan amatan atas kehidupan sehari-hari, dari sudut pandang masyarakat biasa melalui keenam film pilihan.
Diawali dengan In Touch, film yang mengajak kita untuk memaknai relasi keintiman antara manusia dengan teknologi, sesuatu yang sangat dekat dengan peristiwa hari-hari ini di kala pandemi. Melalui eksperimentasi medium (video mapping), pembuat film mencoba membangun kedekatan antara keluarga di Polandia dengan orang-orang terkasih mereka yang terpisah jarak di Iceland. Pendekatan ini membangun pengalaman seolah-olah ia hadir di lokasi yang sama. Meskipun begitu, terjadi hubungan yang paradoks: teknologi menghubungkan mereka sekaligus saling mengasingkan mereka. Poin ini memunculkan dilema, akankah keintiman bisa dicapai?
Pada saat yang sama, elaborasi media film−fotografi mampu merekam memori kolektif yang traumatis. Map of Latin American Dreams menangkap perubahan masa lalu−masa kini sepanjang dua dekade dengan benang merah kekuasaan. Konflik, perang, rasisme, hingga mimpi dan harapan yang membentang sepanjang Amerika Latin dirajut dari sudut pandang masyarakat yang tertindas oleh kediktatoran negara. Sebaliknya, dalam Letters to Buriram, konflik menjadi tidak terlalu tampak dan kelihatan baik-baik saja. Hubungan konflik menyejarah antara negara-negara di Asia seperti Taiwan, Tiongkok, Jepang, dan Korea tidak terlalu muncul ke permukaan tetapi bisa dirasakan. Dengan pendekatan reflektif-puitik, Letters to Buriram membawa kita untuk pelan-pelan menikmati sinema selayaknya mendengarkan dongeng.
Penggusuran yang terjadi di China dalam A New Era adalah realitas yang tidak mungkin diabaikan dan dinafikan terjadi di sekitar kita. Pembangunan hotel dan/atau taman—yang ironisnya disebut—ekologis, membuat warga desa Guangzhou hidup terombang-ambing tanpa rumah dan harapan masa depan. Persoalan serupa juga hadir dalam Doel. Di belahan dunia yang berbeda, sebagian kecil warga yang tersisa di kota mati di Belgia ini mencoba bertahan di ruang hidup mereka, meski sekian meter darinya berdiri bangunan PLTN dan kontainer raksasa yang menyesakkan. Dengan subtil, film ini merekam kehidupan sehari-hari sekelompok kecil warga Doel yang terusik oleh kepentingan ekonomi, pembangunan, dan negara. Mungkinkah semua ini yang disebut era baru bagi kita? Bisakah kemudian kita membayangkan dunia yang berbeda dari peristiwa-peristiwa ini?
Poin tersebut berusaha dijawab dalam film pilihan terakhir di program ini. Into The Movement mengajak kita untuk membayangkan masa depan dengan keberdayaan. Bahwa, upaya-upaya kolektif menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk menanggalkan hidup dari sistem mapan yang rentan. Apa yang diperjuangkan kaum muda-mudi dalam Into The Movement menjadi relevan dengan situasi generasi hari ini yang bergulat dengan masa depan mereka: krisis finansial, kerja-kerja rentan, kredit rumah tiada akhir, hingga hukum yang eksploitatif.