Catatan Kuratorial
Penghujung 2020 mendapati Indonesia di suasana hati yang masygul. Pandemi yang merebak di akhir 2019 dan dampaknya yang menjangkit berbagai sektor di luar kesehatan, hingga kebijakan-kebijakan pemerintah belakangan ini yang sarat kontroversi, barulah sekelumit problema yang menghantui dalam pertanyaan, apa yang akan terjadi berikutnya? Bagaimana dan ke mana selanjutnya Indonesia melangkah? Tarikan ke lingkup nasional terkadang membuat kita menyisihkan ke belakang kepala pergolakan-pergolakan di lapisan yang lain, lapisan tempat kaki kita menapak namun kerap terlewatkan mata yang sibuk memandang cakrawala. Memetakan jalan keluar dari bencana melibatkan tidak hanya pandangan yang kukuh atas tujuan, tetapi juga keberanian menahan langkah dan menatap sekitar tanpa ilusi, tak terkecuali lekuk dan ceruknya, untuk bertanya: bagaimana pilihan tertentu dapat mengubah lanskap ini di kemudian hari?
Program Lanskap Festival Film Dokumenter tahun ini mencoba hadir sebagai lensa atas geliat dan gejolak yang terlewat, melalui delapan film yang menggabungkan antara film-film arsip Forum Film Dokumenter di tahun 2018 dan 2019 dengan film-film masuk di tahun 2020 yang nantinya juga akan menjadi bagian dari arsip. Dalam delapan film, keseharian yang bersahaja namun sarat kompleksitas sosial, sejarah personal yang mengungkap realitas sekitarnya yang lebih besar, dan permainan atas kemungkinan-kemungkinan seorang individu di dalam dan di luar kekangan identitasnya, dieksplorasi. Cara tutur dan pilihan-pilihan artistik dalam film-film ini tentu dapat didiskusikan dengan sangat subjektif, tetapi tangkapan-tangkapan makna yang muncul dari persoalan-persoalan yang diangkat seyogianya dapat dipandang secara objektif, dengan harapan dapat memantik diskusi atas wacana Indonesia, baik di tataran personal maupun yang lebih luas.
Di Paguruan 4.0, Gedoran Depok, dan Di Pinggir Kali Citarum misalnya, keinginan manusia untuk menyesuaikan diri terhadap realitas yang mengelilinginya adalah hal sederhana yang tidak terelakkan. Di tiap film, masing-masing subjek dihadapkan pada tantangan yang merefleksikan lingkungan, latar belakang, serta visi dan profesi mereka. Tuntutan untuk beradaptasi dan mengubah diri sesuai kondisi, ketidakmampuan mengelak dari kuasa yang menelan, resolusi untuk menerima dan bertahan dalam keadaan yang ada di luar kontrol, semuanya merupakan dinamika yang dimunculkan oleh ketiga film tersebut.
Sementara itu, dalam Shin Hua, Golek Garwo, dan Mbah Kancil, usia tua yang adalah keniscayaan ditampilkan dengan penuh sahaja. Di satu film, manusia hanya bisa melanjutkan apa yang diketahui dan dicintai. Di film yang lain, manusia mengejar kata hati mereka. Di film terakhir, manusia berefleksi atas masa lalu dan cita, kini ketika jalan mulai menampakkan ujung.
Banyak Ayam Banyak Rejeki menampilkan percampuran realitas dan betapa mudahnya realitas tersebut dibolak-balikkan dalam permainan identitas. Identitas yang, dalam Between the Devil and the Deep Blue Sea, lebih mirip warisan beban lengkap dengan stigma yang tak berkesudahan.