“Mereka yang tidak bekerja, maka juga tidak akan makan” (Paul Tarsus – New Testament)
Program ini mengajak penonton untuk mempertanyakan hakikat kerja, sebuah praktik keseharian yang bahkan tidak sempat kita pikirkan tetapi (harus) terus dilakukan. Dalam dunia yang berpusat pada kerja, ia menjadi sesuatu yang dianggap sebagai kewajaran: sesuatu yang secara alamiah melekat pada manusia dan tidak mungkin ditinggalkan. Narasi yang dibangun begitu lama membuat kita meyakini bahwa hidup adalah kerja, kerja adalah hidup. Produktivitas, kemajuan, dan beragam wacana dibangun dan dipelihara membuat manusia terus bekerja. Bahkan, dogma kerja yang terus dinarasikan membuat orang-orang berpikir bahwa hidup tanpa kerja adalah hina dan bentuk dari kemalasan. Masalahnya, apa itu kerja? Apakah hanya aktivitas yang melibatkan pertukaran uang yang pantas disebut kerja? Apakah perlu penandaan tertentu untuk membuat suatu aktivitas pantas disebut kerja?
Persoalan kerja tetap tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik yang eksploitatif. Gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia terus memperjuangkan hak-hak jutaan pekerja yang selama ini ditindas. Waktu luang menjadi sesuatu yang diperjuangkan. Pengurangan jam kerja juga terus diupayakan. Akan tetapi, wacana tersebut dikooptasi dan dibingkai ulang sebagai jargon yang justru melanggengkan praktik eksploitasi tersebut. Munculnya berbagai istilah seperti sharing economy, collaboration, (bahkan) passion, dan berbagai konsep lain seolah-olah hadir untuk memuliakan manusianya. Nyatanya, semu. Ia belum menghindarkan kita dari praktik-praktik eksploitasi yang kian canggih.