Catatan Program

Sinema adalah Teleportasi

 

Teleport adalah alat yang digunakan oleh Arad, sementara Maya dengan alat seperti bando di kepalanya mampu berkomunikasi secara telepati dengan hewan dan makhluk hidup lain. Duo jenius ahli biologi ini merupakan tokoh komik yang berasal dari planet Mytica. Teknologi di Mytica juga jauh lebih maju daripada di Bumi, sehingga ketika menggunakan teleport, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat daripada cahaya, yang juga juga mampu memindahkan materi dalam skala lokal melalui ‘staf teleportasi’ Blipper yang dikendalikan oleh komputer super cerdas dan bijaksana.

Ketika kita memasuki ruang menonton dan rela menyerahkan tubuh beserta segenap indrawi kita untuk menyerap dan diserap (resiprokal), kita kemudian hanyut dalam pengalaman sinematik. Berangkat dari hal tersebut, maka film-film pada program ini memberi tawaran menarik yang akan membawa kita ke berbagai masa (imaji waktu) dan imaji ruang. Selain berhadapan dengan masa kini, ia juga membawa kita pada peradaban masa lampau (deep ancient), masa penjajahan, perang dunia, bahkan pada akhir zaman.

Sama halnya film-film pada program Spektrum pada tahun sebelumnya, film-film pilihan tahun ini, selain tidak disiplin, para pembuatnya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu memperlakukan filmnya sebagai teleportasi. Film-film pilihan pada program ini menggunakan beragam upaya pendekatan, melalui penggunaan arsip dan footage (pada Terra Incognita dan An Asian Ghost Story), menggunakan animasi (pada Wa’anak Witu Watu dan Feeling the Apocalypse), menggali ingatan (pada I WAS THERE), menyampaikan pengalaman atau narasi personal (pada All my Scars Vanish in the Wind), atau yang diolah pada proses produksi atau pascaproduksi seperti Yang Kelak Akan Retak yang membawa penonton singgah ke berbagai lokasi Garis Van Mook atau batas wilayah kekuasaan Belanda dengan Indonesia di Jawa Timur pasca perjanjian Renville atau Behind the Sun yang membawa kita ke angkasa dan pada pertanyaan reflektif dalam produksi film.

Para pembuat film mengeksplorasi seluruh aspek-aspek tersebut di meja penyuntingan maupun pada proses produksi demi menghadirkan dan menawarkan pengalaman yang lain, termasuk pengalaman menjadi orang lain. Film Loneliness membawa kita pada impresi tersebut. Oleh para pembuat film-film ini, imaji waktu dan ruang diregang sekaligus dimampatkan, demikian juga halnya dengan persepsi atas kenyataan dan imajinasi.

Film-film ini memberi tawaran pengalaman masa lampau yang berimplikasi pada persoalan kehidupan kita di hari ini dan yang akan datang, tapi juga berspekulasi untuk menghadirkan atau membawa penonton pada pengalaman-pengalaman yang berbeda dalam mengalami dokumenter.

 

– Wimo Ambala Bayang