Produser BM Anggana membuka sesi tanya jawab dengan jawaban dan berkisah, “Kami jalan-jalan, bertemu dengan banyak orang. Dari apa yang dibicarakan, kami (berupaya) untuk menghadirkan tiga perspektif itu dalam film ini seutuhnya: saintifik, kapital, dan spiritual.” Penayangan film Monisme (2023) dalam program Kompetisi Panjang Internasional telah dilaksanakan di Gedung Ex Bioskop Permata pada 6 Desember 2023, pukul 19.00 WIB. Film tersebut mengisahkan tentang pandangan yang tidak antroposentris mengenai Gunung Merapi dan berlapis-lapis unsur yang menyusunnya melalui berbagai sudut pandang manusia. Bahwa Merapi, sejatinya, adalah ruang dan waktu yang terus menyala, beriringan dengan kita. Setelah pemutaran selesai, para penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab bersama produser BM Anggana.
Berkeliling berbagai pertambangan di sekitar Merapi, Sabo Dam, Kaliurang, hingga bertemu Yulianto, pengawas Pos Babadan Merapi di Magelang, Jawa Tengah, dan kelompok Jathilan Kudho Taruno Wonolelo adalah salah satu tapak-tapak yang membawa Rizaldi dan Anggana pada buah ide Monisme (2023). “Gagasan karya mengenai Merapi, belum spesifik pada Monisme, telah dilakukan sejak 2018. Pada 2020, kami bertemu untuk berdiskusi lebih jauh mengenai pembentukan film panjang, apapun bentuknya.” ujar Anggana. Beberapa penonton mengacungkan tangan, bersiap untuk mendapat jawaban dari pertanyaan mereka.
Kisah ini adalah kontemplasi filosofis yang membawa kita pada makna yang lebih jauh tentang apa itu Merapi. Pertanyaan saya, apa posisi masyarakat sekitar Merapi dengan montase jathilan yang diambil?
Soal ritual, sebenarnya itu jathilan seperti biasa pada umumnya. Hal yang menarik adalah keterlibatan masyarakat. Misalnya, kuda bambu yang digunakan dalam jathilan, tidak bisa digunakan secara sembarangan. Dilakukan beberapa ritual terhadap kuda tersebut. Proses-proses, kepercayaan tersebut tetap dilakukan dalam proses pembuatan.
Karena akan sangat mudah bagi pembuat film untuk terperosok pada eksotisme budaya, bagaimana proses kerja sama dengan masyarakat?
Ketika bicara mengenai sisi spiritual Merapi, perspektif mana yang sebetulnya ingin kami cari di luar perspektif arus utama? Kami mencari alternatif dengan berdiskusi bersama sehingga muncul perspektif yang kami sajikan dalam film. Naskah yang kami buat, secara kolaboratif, juga kami kembalikan pada masyarakat.
Seberapa penting penggambaran kekerasan dalam film ini?
Dari percakapan kami berdua (Anggana dan Rizaldi), penggambaran kekerasan adalah unsur yang penting. Film bukanlah hal yang suci-suci amat. Kekerasan dalam Monisme digambarkan sebagai suatu yang pure evil, sesuatu yang sangat jahat, dengan harapan hal-hal tersebut tidak akan terjadi. Kami berusaha menggambarkan kejahatan yang ada dengan keras, gamblang, karena jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang ingin kami utarakan tidak akan sampai.
Apa urgensi untuk menghadirkan adegan pemerkosaan dalam film ini, sedangkan realitas di lapangan, jarang terdapat peranan perempuan?
Kami ingin memberikan gambaran bahwa adanya represi yang brutal di lapangan terhadap perempuan. Setiap tokoh yang ada memegang peran kunci–seperti skenario di film, di mana ada periset perempuan yang terepresi, ada seniman perempuan yang berupaya untuk merekam kenyataan yang ada di pertambangan. Kami ingin menunjukkan bahwa posisi-posisi perempuan dalam hal seperti itu adalah posisi yang kuat meskipun kehadiran-kehadirannya, barangkali, dalam Monisme, tidak setebal apa yang teman-teman harapkan.
Apa distingsi dari realitas dan imajinasi dalam film ini?
Batas-batas itu silakan ditentukan sendiri. Monisme tidak bertujuan untuk membuat sekat tersebut secara jelas. Kami bermain dengan wilayah bias–mana realitas dan mana yang bukan–seperti menyandingkan apa yang saintifik dan apa yang spiritual.
Apa yang dialami–secara teknis dan pengalaman–ketika penyusunan film ini?
Hal yang dialami pertama adalah Covid, Mas (Penonton tertawa). Tantangan kami adalah berhadapan dengan situasi yang tidak dapat kami prediksi. Kala itu curah hujan tinggi, dan situasi Covid yang juga cukup tinggi, membuat kami sangat adaptif dalam membaca situasi setiap harinya. Selain itu, kami juga terus menerus melakukan ritual untuk kula nuwun (memohon izin).
Merapi yang tidak menampakkan dirinya pada setiap orang, menurut Anggana, adalah salah satu kesulitan ketika proses syuting yang membuat kru tidak bisa mengambil gambar apa pun. “Namun, percaya atau tidak, ketika kami di Babadan, bersih, Merapi membuka dirinya.” tutup Anggana. Monisme (2023), rekam hidup Gunung Merapi dan hidup makhluk yang ada di sekitarnya, telah tuntas ditayangkan. Penyatuan antara seluruh anasir dengan alam, manifestasi Merapi sebagai kesatuan hidup yang ragam dan yang utuh, adalah pesan-pesan yang sirat tersurat dalam Monisme (2023).
Diliput oleh Tuffahati Athallah pada 6 Desember 2023.