Memperjuangkan yang Tersisa di Hutan Kalimantan: Sesi Tanya-Jawab bersama Arfan Sabran

— Berita
FFD 2022

Yogyakarta, 18 November 2022 – Diguyur hujan deras, IFI-LIP Yogyakarta tetap dipenuhi penonton yang hendak menonton salah satu film pilihan dalam program Lanskap FFD 2022, The Flame (2021). Setelah pemutaran, sutradara Arfan Sabran hadir untuk mengisi sesi tanya-jawab bersama para penonton. Berikut adalah rangkumannya: 

Ini ‘kan membahas mengenai tanah adat. Saya justru terbayang Mas Arfan akan menunjukkan suku-suku itu di rol kamera. Namun, di sini tidak. Apakah subjek di dalamnya ada kaitannya? Juga, kenapa tidak penuh menggunakan bahasa Banjar?

Kalau kita lihat di Kalimantan, masyarakat sudah berubah, berbaur dengan transmigran. Bayanganku sewaktu kecil, Kalimantan itu penuh hutan lebat dengan banyak suku-suku, tapi ternyata tidak. Yang menarik di Kalimantan Tengah, tidak ada status hutan adat. Dan, ini hutan adat pertama, diupayakan oleh Pak Iber. Dari situ, setelah saya pulang dari sana, Pak Iber sedang mengusahakan status itu. Jadi, saya memilih untuk kembali. Saya ingin memfilmkan Bapak ini. Sebenarnya, tidak ada hubungannya dengan masyarakat adat. Justru, saya juga jadi berubah pandangannya mengenai masyarakat adat. Ternyata bukan dari pakaiannya atau tempat tinggalnya. Bahasa yang mereka gunakan sudah banyak bercampur baur. Desa Pilang yang jadi spasialnya tidak ada di tengah persis, antara Palangkaraya dan Banjarmasin. Maka, bahasa Banjar itu minim digunakan.

Apa kesulitan produksi film ini? Apalagi mengambil momen kebakaran yang kita tidak tahu kapan terjadinya.

Tantangannya, ini adalah film panjang pertama. Dan, ternyata treatment menyutradarainya berbeda; beda pulau juga (dulu domisili di Makassar). Kemudian ini untuk pertama kalinya bekerja dengan produser. Dalam waktu yang panjang, juga saat kebakaran hutan, otomatis kita harus berangkat (insidental). Pendanaan dan teknis syuting juga tantangan.

Di film ini terlihat sekali Pak Iber adalah single fighter. Apakah film ini sudah menggambarkan seluruh proses pengusahaan status tanah adat tersebut?

Pak Iber jadi subjek sentral film karena beliau paling vokal (sebut aktivis juga). Dia sedang memperjuangkan itu. Apa yang terjadi setelahnya, hanya bisa diprediksi. Beliau inisiatif sendiri, datang dengan dokumen mentah, minta tolong dibantu. Ya, ada banyak momen yang tidak ditampilkan. Sebab, saya berpikir dampaknya setelah film ini jadi nanti bagaimana. Maka, saya memikirkan kembali beberapa hal untuk tidak ditayangkan (agar masyarakat di sana tidak terpecah). Dari sana, kami masuk ke kasus-kasus deforestasi. Kami sudah tau segala macam, bayangan pemainnya siapa, kita lihat saja jejak-jejaknya. Saya tidak memasukkannya, tapi fokus pada perjuangan Pak Iber.

Apakah motivasi ketika membuat film ini? Apakah advokasi atau menarik atensi? Motivasi ini kemudian bergeser juga tidak? Terlebih, di akhir film ini dikatakan Pak Iber kehilangan lahannya.

Selalu ada hal personal yang terkait di (dalam diri) saya setiap membuat film. Kalimantan itu pulau terakhir yang bisa saya kunjungi. Dalam bayangan saya, Kalimantan itu penuh pohon, tapi yang saya jumpai malah asap. Fakta-fakta baru yang didapatkan ketika saya ketemu Pak Iber, saya memutuskan kalau harus kembali dan memfilmkan ini. Tujuannya ini untuk advokasi juga, audio visual ini bisa untuk apa saja. Saya gunakan ruang-ruang personal untuk bahas yang besar.

The Flame ini kompleks dengan lapisan yang banyak: ekologi, hutan adat, termasuk di dalamnya juga ada percakapan antargenerasi. Bagaimana cara memotret keseluruhan lapisan ini melalui struktur yang detailnya menggunakan pendekatan observasional?

Saya mulai semuanya dengan character development. Treatment film lebih banyak pakai tripod sehingga gambarnya statis. Hal ini untuk menggambarkan Pak Iber yang geraknya sudah lambat dikarenakan usia. Kemudian, (terkait dengan) adanya generasi ini bisa menggunakan sebagai metafora. Pak Iber adalah sosok orang tua kita; anak Pak Iber adalah kebutuhan ruang dan uang; cucu Pak Iber adalah mempertanyakan apa yang sudah hilang. Karakter adalah yang paling utama. Bagi saya, karakter adalah kendaraan dalam perjalanan konflik itu. Kayak mau lewat jalan tol atau jalur pegunungan off-road, kendaraannya berbeda, karakternya berbeda.