DOC Forum: Membicarakan Ketersinambungan Festival dan Kota

— Berita
FFD 2022

Yogyakarta, 16 November 2022 – Rangkaian acara DOC Forum, lokakarya intensif yang diikuti oleh komunitas film, memasuki hari keduanya. Pertemuan yang dilaksanakan di GAIA Cosmo Hotel ini membawa topik mengenai ketersinambungan sebuah festival dalam kaitannya dengan identitas kota tempat penyelenggaraannya.  Bertajuk “Festival dan Kota” dan menghadirkan Alia Swastika sebagai narasumber, forum ini membahas bagaimana festival sebagai sebuah perayaan yang melibatkan segala lapisan masyarakat memiliki karakteristik yang dapat menyorot identitas suatu kota.

Diawali dengan pengenalan singkat terhadap biennale–acara seni yang terjadi di seluruh dunia setiap dua tahun–narasumber mulai mengafiliasikan karakteristik festival kepada identitas kota. Di Cuba, Havana, biennale digunakan sebagai wadah yang mempertunjukkan karakteristik kota yang lekat akan penerimaan sosialisme serta penolakan terhadap kapitalisme. Mereka menghasilkan karya seni yang merepresentasikan negara dunia ketiga. Hal yang sama terjadi di Korea Selatan, kota Hangzhou ikut menggelar biennale dengan tema yang lekat akan revolusi politik di tengah opresi diktator pada masa 80-an. Berdasarkan kedua contoh tersebut, narasumber mengambil kesimpulan bahwa festival dapat ditunggangi oleh pemerintah demi kepentingan politik. 

Terdapat banyak permintaan pemerintah akan tujuan dilaksanakannya sebuah festival, mulai dari membangun kebanggan lokal sampai menumbuhkan dan memperluas turisme. Indikator-indikator ini sangatlah program-oriented dilansir dari adanya penggunaan bahasa ekonomi komersil yang terfokus akan keuntungan kuantitatif melainkan kesejahteraan. Di tengah indikator ini, narasumber mengajukan sebuah pertanyaan, apakah tujuan pemerintah yang seperti ini merupakan manifestasi dari keinginan para komunitas film. Harun Rumbarar, perwakilan Papuan Voices, komunitas film Papua, mempercayai bahwa tujuan komunitasnya menyelenggarakan festival ialah sebagai bentuk retribusi dari banyaknya film yang berpartisipasi. Selain itu, Aceh Documentary memberikan pandangan berbeda akan keinginan mereka untuk membangkitkan adanya ketertarikan film kepada masyarakat. Jawaban-jawaban ini menandakan adanya keterpisahan ide akan pemerintah dan partisipan komunitas film.

Andaikan tidak ada keterikatan pemerintah, terpisah dari adanya kontribusi moneter mereka, apa yang ingin kita lakukan?”, pertanyaan reflektif ini dilanjutkan dengan elaborasi narasumber. Banyaknya pengalaman dalam menghadiri festival film membuat narasumber berkaca akan tujuan diselenggarakannya sebuah festival. Terdapat empat kriteria penting: menasfir dan mengimajinasikan ruang, menumbuhkan solidaritas, menulis ulang sejarah, dan membangun identitas dari bawah. Menasfir dan mengimajinasikan ruang mendeskripsikan bagaimana dengan adanya sebuah festival, kita dapat mengunjungi ruang-ruang baru serta ikut membangun kesan tersendiri terhadap ruang tersebut. Sedangkan, kriteria menumbuhkan solidaritas seperti kegiatan DOC Forum saat ini memperbolehkan komunitas film untuk belajar tentang lokalitas masalah di tempat lain serta membangun empati dan solusi di tengah adanya kesamaan problematika.

Kriteria menulis ulang sejarah dan membangun identitas dari bawah tidak bisa dipisahkan dengan maraknya peran pemerintah dalam sebuah festival film. Kemampuan sebuah festival film untuk memberikan pandangan baru kepada masyarakat memungkinkan adanya politisasi jika kurator memutuskan untuk melibatkan propaganda karangan pemerintah untuk menulis ulang atau bahkan menjustifikasi sejarah kelam. Selain itu, untuk membangun identitas dari bawah, terdapat kontradiksi dengan peran pemerintah yang pada dasarnya merupakan motivasi dari atas, bukan dari bawah. 

Presentasi narasumber ditutup dengan pemaparan tiap komunitas film untuk memetakan aspek yang sesuai dengan keempat faktor di atas. Dari keempat faktor, dua hal yang menjadi sorotan ialah aspek menafsir dan imajinasi ruang. Para komunitas film membayangkan sebuah ruang terbuka di mana segala lapisan masyarakat mulai dari UMKM sampai komunitas setempat dapat ikut berkontribusi. Selanjutnya, dalam aspek menulis ulang sejarah, penting adanya supaya masyarakat setempat untuk terlibat membayangkan sebuah identitas baru yang bebas dari kekangan pemerintah.