“Manusia selalu mempelajari apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya, seperti Victor yang selalu mempelajari peralatan-peralatan dan media barunya.” ujar Wahyu Al Mardhani, satu dari dua sutradara A River in the Middle of the Sky (2023). Penayangan film A River in the Middle of the Sky (2023) dalam program Kompetisi Panjang Indonesia dilaksanakan di IFI-LIP Yogyakarta pada 7 Desember 2023 pukul 19.00 WIB. Film tersebut membawa berbagai montase yang diambil oleh Victor Konda dengan berbagai media yang menggambarkan fasad-fasad fisik dan sosial tanah Toraja. Setelah pemutaran selesai, para penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab bersama para pembuat film. Telah hadir Wahyu Al Mardhani dan Chris Cochrane-Friedrich yang duduk sebagai sutradara A River in the Middle of the Sky (2023) dan Victor Konda sebagai arsiparis utama film ini.
Arsip-arsip mentah Victor Konda, berbagai teknik dan metode masyarakat untuk mengabadikan cerita hingga intimasi dalam merayakan mereka yang mati–menguar seluruhnya dari layar. A River in the Middle of the Sky (2023) sejatinya berdiri sebagai pengingat bahwa manusia adalah fragmen-fragmen kecil. Adalah sebuah upaya, untuk menempatkan teknologi sebagai kepala kedua manusia, untuk mengingat potongan peristiwa. Berikut adalah rangkuman sesi tanya jawab bersama pembuat film.
Bagaimana ide film ini muncul?
(Friedrich) Pada 2017, saya ke Toraja bersama teman-teman untuk melakukan kegiatan pra-riset karena ketertarikan mendalam terhadap Toraja. Saya pikir, kebudayaan Barat yang menutupi kematian adalah hal yang jauh berbeda dengan cara Toraja memandang kematian. Mungkin, kalian sudah pernah melihat video National Geographic mengenai upacara kematian di Toraja, bagaimana mayat dipakaikan baju dan apa-apa yang terjadi di dalam upacara tersebut. Itu menarik perhatian saya, sampai akhirnya kami bertemu Victor. Kami mengenal satu sama lain, hingga kami banyak melihat video-video mentah yang dia ambil. Semuanya memberikan gambaran akan cerita Victor dan dedikasinya.
(Al Mardhani) A River in the Middle of the Sky adalah film debut pertama kami. Film ini, sebenarnya, telah melewati beberapa medium. Kami mencoba menuangkan ide dalam bentuk instalasi empat layar di Toraja, Melbourne, dan Makassar. Kami mendapatkan banyak masukan dalam pembentukan film dari banyak sutradara dan pekerja film. Ketika seremonial kematian sudah terlalu sering dipertontonkan, mereka menyarankan untuk meletakkan bagian-bagian yang menunjukkan intimasi dari Toraja itu sendiri–seperti ketika ada anak-anak bermain di sungai. Dari instalasi empat layar tersebut, kami gabungkan menjadi satu layar. Kami memulai film ini dari medium yang eksperimental sampai akhirnya menjadi sebuah film panjang.
(Konda) Ketika Chris dan teman-teman datang ke Toraja pada 2017 didampingi dengan guide untuk melihat dan meliput upacara kematian. Saya tanya, “Saya boleh ikut, enggak, untuk ikut lihat-lihat sama mereka?” Saya selalu penasaran dengan peralatan mereka yang sangat canggih, karena kala itu peralatan saya masih murahan. Saya tertarik dengan peralatan canggihnya dan proses mereka meliput. Kelamaan, saya semakin akrab dengan mereka. Saya jamu mereka untuk makan. Pada kedatangan mereka untuk kedua kalinya pada 2019, mereka mengontak saya. Saya tawari mereka untuk tinggal di rumah saya. Mereka tertarik dengan liputan saya yang disimpan dalam ratusan harddisk. Dari sanalah, mereka berinisiatif untuk membuat dokumenter dari apa yang saya liput selama ini.
Dalam beberapa bagian, terdapat sorotan terhadap keluarga yang sudah meninggal. Apakah hal tersebut boleh untuk dilakukan secara adat?
(Konda) Kami merekam keluarga dan orang-orang terdekat saja, tidak pernah pada orang lain. Orang-orang terdekat tidak keberatan. Semua hasil dari rekaman juga kami pertontonkan kembali pada mereka. Saya tanya pada mereka, “apakah tidak melanggar?”, dan keluarga menjawab tidak.
Apakah sutradara secara intensional menangkap montase-montase masyarakat lokal yang merekam menggunakan kamera mereka?
(Friedrich) Orang-orang di seluruh dunia memiliki teknik-teknik yang beragam dalam menangkap video, termasuk masyarakat Toraja. Mereka mengumpulkan arsip-arsip yang menakjubkan, tangkapan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan sosial, dan hal-hal tersebut sangat menggambarkan mereka. Banyak masyarakat Toraja yang pergi ke luar negeri untuk bekerja. Ketika mereka memiliki kesempatan untuk dapat berkumpul bersama, mereka menangkap gambar dan video untuk menyimpan ingatan-ingatan dan momen yang ada. Arsip-Arsip Victor menangkap realitas sekitarnya dengan cara yang mikrokosmos, dan itu sangat menarik.
(Al Mardhani) Kita berkutat pada pembahasan, “Apakah kita akan menyorot kemampuan Victor yang mencoba semua peralatan atau masyarakat lokal?” Dari arsip-arsip Victor, kita bisa melihat orang-orang di belakang kamera tidak terpisahkan dari kamera. Itu yang ingin kami tunjukkan, bahwa kameramen tidak terlepas dari kameranya. Pernah suatu saat, Om Victor punya iPhone 13. Ia menggunakannya untuk live streaming. Padahal, kalau saya yang punya, saya pasti pakai untuk berswafoto (Penonton tertawa). Dari situ, kita bisa melihat bahwa bagaimana manusia selalu mempelajari apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi, tidak sekadar kita bicara mengenai frame, mengenai apa yang tampak dan disajikan pada penonton, tapi juga kita mempelajari mediumnya, peralatan-peralatan, dan berbagai fungsinya.
Bagaimana Victor memandang upacara kematian Toraja?
(Konda) Rambu Solo’ dulu adalah hal yang sakral karena dulu mencari uang sangat susah. Karena sekarang masyarakat lebih mudah untuk mendapatkan uang. Oleh karena itu, upacara-upacara tersebut lebih mudah untuk dilakukan sekarang. Kami memiliki kepercayaan bahwa semakin banyak kerbau yang dikorbankan ketika upacara kematian, akan semakin cepat pula arwah orang meninggal tersebut untuk sampai ke nirwana.
Bagaimana komitmen Victor untuk terus mendokumentasikan kegiatan yang sedang terjadi?
(Konda) Benar bahwa untuk membeli kaset dan penyimpanan adalah hal yang mahal. Meskipun begitu, saya tetap berusaha untuk menyimpan setiap dokumen yang ada supaya tetap aman. Yang penting, saya masih bisa beli beras untuk makan, itu sudah cukup. Saya berupaya untuk tetap menjaga dokumen-dokumen yang saya ambil dari tahun pertama saya mendokumentasikan peristiwa tetap aman, supaya anak cucu Toraja di masa depan masih bisa mengingat dan melihat–kalau-kalau upacara kematian tersebut punah.
Bagaimana kedekatan masyarakat Toraja di luar kegiatan seremonial? Apakah kegiatan seremonial betul-betul menjadi hal yang vital?
(Konda) Sama seperti suku-suku lain, kami melakukan berbagai kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan. Kami melakukan seremoni, kami memelihara kerbau dan babi untuk perayaan. Kalau ditilik pada kegiatan seremonial, tentu lebih banyak ruginya. Kami tetap melakukannya untuk memenuhi kebutuhan kami. Jarang ada sawah, dan beras juga mahal. Orang-orang Toraja mengandalkan anak cucu yang bekerja di perantauan. Hal-hal tersebut yang membuat kami tetap dekat: Kami selalu berada pada situasi-situasi yang sama.
Victor Konda adalah salah seorang yang berjuang mengimortalisasikan sebanyak-banyaknya kenangan melalui mata kamera dan peristiwa yang terjadi sebagai negasi dari kelemahan manusia: menjadi luput dan lupa. Selayaknya dokumenter, A River in the Middle of the Sky (2023) adalah sebuah upaya untuk melawan keterlupaan karena waktu tidak pernah menunggu kita. Masih banyak dokumenter menyapa kita dalam Festival Film Dokumenter 2023 yang dilaksanakan hingga 9 Desember 2023.
Diliput oleh Tuffahati Athallah pada 7 Desember 2023.