Yogyakarta, 18 November 2022 – Pada hari kelima gelaran Festival Film Dokumenter 2022, ditayangkan kompilasi lima film dalam program Spektrum yang fokus pada pembahasan mengenai ‘kerumpangan’ film dokumenter. Telah ditayangkan There are Fish in The Water and Rice in The Field (2021), (((O))) (2022), Transparent, I am (2020), Street Opera (2022), dan The Partian (2022) di Bioskop Sonobudoyo. Pemutaran ini disertai dengan sesi tanya-jawab seusai pemutaran yang dihadiri oleh Hadafi Raihan Karim, sutradara The Partian (2022). Berikut adalah rangkumannya:
Bagaimana cerita di dunia ‘Mars’ atau Parung Panjang?
The Partian ini awalnya hadir dari keinginan untuk mengangkat tempat tinggal yang aku tinggali selama 10 tahun. Aku sendiri dijuluki “anak planet” (oleh teman-teman), dari sinilah aku mulai berkaca. Diawali dari: kenapa di sini banyak truk? Setelah ditelusuri, ternyata truk-truk ini datang dari usaha tambang kabupaten sebelah. Dari inspirasi ini, aku mulai mengontak temanku dan pitching ide untuk membuat sebuah film yang berangkat dari ide bahwa tempat tinggalku layaknya planet lain. Lalu, aku mulai untuk mencari tambang-tambang yang ditinggalkan dan illegal.
Ini festival film dokumenter, kok Mas Hadafi berani datang dengan ide ini?
Pas awal membuat film, aku sempat bingung mengalokasikan film ini fungsionalitasnya untuk apa sebenarnya. Namun, setelah melihat pendaratan Apollo, sosok seorang astronot menginspirasiku untuk bikin film ini. Berdasarkan pembuatan, aku merasa bahwa film ini merupakan film hybrid, aku terinspirasi dari pembuat film lain yang mulai dari merekam keadaan sekitar lalu memasukkan seorang karakter fiktif. Awalnya, aku mencoba eksperimentasi film dan bertanya-tanya kepada sesama pembuat film mengenai genre film tersebut. Dengan dimasukkannya filmku di sini, ini menjadi validasi atas keberhasilan film The Partian sebagai film dokumenter hybrid.
Tambang apa yang digunakan pada film ‘The Partian’?
Tampang pasir dan batu di Parung Panjang. Bahan-bahan ini digunakan dalam proses pembuatan beton. Daerah ini sendiri memang terdapat banyak sumber daya alam mulai dari tambang sampai kelapa sawit. Namun, di tempat yang sama, terdapat jalan-jalan yang rusak. Selain itu, banyaknya truk-truk overload yang membahayakan penduduk. Makannya, tadi aku sempat memberi potret anak-anak kecil untuk mensimbolkan individu-individu yang pada dasarnya ada disana sejak lahir, meskipun tidak melakukan apa-apa, tapi kondisi mengharuskan mereka untuk menghirup polusi dan hidup disana.
Di adegan terakhir terdapat kuburan dan ada lima orang, apakah maksud adegan tersebut?
Astronot ini ialah orang-orang yang tinggal di Parung Panjang tapi aku analogikan sebagai astronot yang baru datang ke daerah tersebut. Terdapat banyak astronot yang aku taruh di sekujur film; mereka sebenarnya adalah individu-individu yang berbeda. Ceritanya adalah astronot ini datang dan melihat hal-hal yang familiar dengan keseharian mereka, tapi mereka tidak mempunyai memori atau rekoleksi atas situasi yang ada. Mereka dipertemukan di kuburan tersebut. Di sana mereka disadarkan bahwa itulah kuburan mereka. Astronot-astronot ini merupakan korban atas kondisi yang kurang baik di daerah Parung Panjang.
Film ini membahas tentang lingkungan dan eksploitasi, tapi dengan kemasan seperti ini aku rasa tidak ada banyak orang yang bisa langsung paham dengan yang dicoba untuk di sampaikan. Selain itu, adanya pemutaran yang terbatas beranjak dari festival ke festival lainnya semakin mempersempit adanya penonton yang bisa marak menonton film ini. Apa rencana Mas untuk mendistribusikan film ini dan apa strateginya?
Perihal distribusi, terdapat sebuah NGO yang mengadvokasikan isu hak asasi manusia dan lingkungan di kancah internasional. Rencananya, mereka akan membawa film ini untuk menyebarkan kesadaran kepada publik. Sebagai contoh, film ini sempat dibawa pada acara COP27 di Mesir. Ke depannya, semoga film ini bisa hadir sebagai bukti tanda akan adanya perubahan iklim dikarenakan kerusakan lingkungan.