Malam Penganugerahan dan Penutupan Festival Film Dokumenter 2017: Post-Truth

— Newsletter
FFD 2017
FFD 2017

Penyelenggaraan Festival Film Dokumenter 2017: ‘Post-Truth’ telah berakhir pada 15 Desember 2017 lalu. Malam penganugerahan dan penutupan menjadi rangkaian acara terakhir dari gelaran Festival Film Dokumenter yang diadakan sejak Sabtu (9/12) lalu. Bertempat di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta, malam penutupan ini turut memutarkan film pemenang kategori dokumenter pelajar setelah pembacaan pemenang dilakukan.

Sebelum pemenang dalam masing-masing program kompetisi diumumkan, perwakilan para juri menyampaikan nominasi pemenang dan memberi evaluasi terkait submisi film-film submisi unggulan dari berbagai negara untuk kategori film Dokumenter Panjang, dan berbagai film dokumenter Indonesia dalam kategori Dokumenter Pendek dan Dokumenter Pelajar. Di tahun penyelenggaraan ke-16-nya, film – film yang masuk ke Program Kompetisi kian beragam, baik secara konten maupun bentuk–bentuk yang digunakan dalam karya para peserta. Selain itu, tema–tema yang diangkat sangat bervariasi, mulai dari hal-hal yang sederhana dan dekat dengan keseharian, hingga berbagai permasalahan sosial politik yang aktual. Total terdapat 152 film submisi yang terdiri dari 43 Film Kategori Dokumenter Panjang Internasional, 85 Film Kategori Dokumenter Pendek, dan 24 Film Kategori Dokumenter Pelajar, proses kurasi internal menyisakan total 17 film finalis dengan rincian: 5 film finalis Dokumenter Panjang, 6 film finalis Dokumenter Pendek, dan 6 film finalis Dokumenter Pelajar. Submisi film telah terkumpul sejak bulan Juli 2017 dan masing-masing kategori telah diulas dan ditinjau oleh para juri pada tanggal 9-13 Desember lalu.

FFD 2017 | Steve Pilar Setiabudi dan Irfan R. Darajat, Juri Kategori Pelajar
FFD 2017 | Steve Pilar Setiabudi dan Irfan R. Darajat, Juri Kategori Pelajar

Steve Pilar Setiabudi dan Irfan R. Darajat, dua dari tiga juri kategori pelajar yang hadir pada malam penganugerahan memberi sedikit catatan sebelum memunculkan nama pemenang ke khalayak. “Representasi film pelajar ini dilihat kuat karena tidak menggunakan statement ‘pinjaman’ dalam melihat tema yang universal. Film ini (Hening dalam Riuh) berhasil menampilkan visual yang tepat guna dan puitis mengenai seorang subjek yang menarik. Keberadaan subjek sebagai fokus utama film tidak terjebak dalam perspektif korban. Meski begitu, subjek dalam film ini dirasa masih dapat dieksplor lebih dalam,” ucap Irfan selaku perwakilan dari juri kategori dokumenter pelajar.

FFD 2017 | Aditya Rizki Pratama, Direktur Program FFD 2017
FFD 2017 | Aditya Rizki Pratama, Direktur Program FFD 2017

Catatan dalam kategori dokumenter pendek disampaikan oleh Aditya Rizki Pratama, koordinator program FFD 2017 –mewakili juri kategori pendek yang berhalangan hadir pada malam itu. Menurut para juri, Ojek Lusi layak menjadi pemenang karena dianggap berhasil menangkap gambar-gambar yang absurd mengenai kehidupan dengan narasi yang baik. Karakter yang menjadi fokus utama, ditunjukkan dengan menarik, tidak tunduk oleh masalah kehidupan yang menimpanya. Menurut para juri, pembuat film berhasil membuat film dengan komposisi visual yang elok, serta berhasil menggambarkan relasi yang akrab dengan subjek dan tidak eksploitatif terhadap keadaan kehidupan mereka yang sulit.

“Film ini menunjukkan pendekatan yang tidak sentimental, tidak terpusat pada rasa belas kasihan, dan meninggalkan viktimisasi, terlepas dari tema filmnya,” pungkas Adit.

Hore Besok Libur, tim di balik Ojek Lusi memberi pesan lebih selepas menerima piala dan piagam penghargaan. “Lumpur lapindo ini sudah meluap dari 2006 oleh pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, lumpurnya masih meluap terus dan meluas, menenggelamkan 16 desa di 3 kecamatan. Coba bayangkan 1 desa dikali 16 itu lumpur semua, lumpurnya lebih tinggi dari atap rumah dan tiang listrik, itu tenggelam semua. Beberapa korban menjadi pemandu wisata di lumpur Sidoarjo, jadi kalau kalian kapan kapan ke Sidoarjo coba lihat pemandangan yang sangat aneh dan ironis itu,” Ucap Winner Wijaya, sutradara dari Ojek Lusi.

FFD 2017 | Hore Besok Libur, Tim di Balik Ojek Lusi
FFD 2017 | Hore Besok Libur, Tim di Balik Ojek Lusi

Sandeep Ray, sebagai perwakilan juri dokumenter panjang juga menyampaikan catatan terkait film yang menjadi pemenang. I’ve Got the Blues bisa menjadi begitu menarik karena Angie Chen, sang sutradara, berhasil menunjukkan sisi artistik lain Yank Wong, sang subjek dalam film, dan menarasikannya secara elok dengan relasi orang-orang di sekitarnya. “This film is a dynamic, rambling, enjoyable, and utterly honest film. Something that only can be achieved only through the long and close causes between the director and the subject, there is a game of tug-of-war between the subject reluctants to reveal about themselves and the lucidity in the action itself. The directors frustation about the processes and the obvius involvement to get along with the subject,” ucap Sandeep.

FFD 2017 | Sandeep Ray, Juri Kategori Panjang
FFD 2017 | Sandeep Ray, Juri Kategori Panjang
FFD 2017 | Angie Chen
FFD 2017 | Angie Chen

Angie Chen memberi pesan pada seluruh filmmaker muda setelah ia memenangkan penghargaan ini. “I guess getting an award is a recognition that every filmmakers cherises, and I see a lot of young filmmakers here today: follow your heart, be passionate, make your films, and you will succeed, well thank you very much,” tutup Angie.

Selain itu, juri kategori panjang juga memunculkan satu film sebagai peraih special mention, yakni I Am Hercules (Marcus Iacob, 2017). “This is a beautifully melancholic movie, captures in a unique landscape of a valley. The uncommon and rarely explored theme brought up by the filmmaker shows a story of three aging masseurs, how they try to cope with their age, loneliness, and everyday situation. Deep layers are successfully portrayed through their unique stories. Although, the film might be seemed too bleak for some viewers,” ucap Sandeep.

FFD 2017 | Alia Damaihati, Direktur FFD 2017
FFD 2017 | Alia Damaihati, Direktur FFD 2017

Sebelum malam penganugerahan berakhir, Alia Damaihati, selaku Direktur Festival Film Dokumenter 2017: ‘Post-Truth’, memberi sepatah dua patah kata untuk menutup malam itu. “Dalam perjalanan sebagai festival, seperti yang kita tahu, bahwa kerja dokumenter memerlukan sebuah komitmen dan konsistensi. Kami yakin hal ini turut diamini oleh teman-teman semua. Setiap laju membutuhkan kemitraan dari berbagai pihak untuk menghadapi tantangan ke depannya. Hal tersebut yang akan membuat ruang-ruang, seperti halnya festival ini, akan bertahan dan terus tumbuh. Mari senantiasa membangun sinergi kerja yang sehat, saling mengisi, dan menopang visi bersama,” ucap Alia.

Dalam gelaran selama enam hari berturut-turut, Festival Film Dokumenter 2017: ‘Post-Truth’ telah memutar 78 judul film dari 17 negara lintas benua. Pemutaran telah berlangsung di dua lokasi, yakni: Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta, dan Ruang Auditorium IFI-LIP Yogyakarta. Program diskusi dan presentasi dengan lima bahasan yang berbeda juga telah dilakukan yakni: Dokumenter di Era Post-Truth, Dear Memory: Kebersituasian, Pemutaran Perdana dan Diskusi 5 Pulau / 5 Desa hasil kerjasama dengan Goethe Institute, Presentasi Balada Bala Sinema, dan Presentasi If/Then kolaborasi dengan In-Docs. Festival Film Dokumenter 2017: ‘Post-Truth’ berhasil mendatangkan pengunjung selama enam hari festival sebanyak 2677 pengunjung. Sampai jumpa di Festival Film Dokumenter tahun depan.

Berikut ini adalah hasil lengkap pemenang & special mention program kompetisi per-kategori:

Dokumenter Panjang: I’ve Got the Blues | Angie Chen / Hong Kong

Dokumenter Pendek: Ojek Lusi | Winner Wijaya | Indonesia

Dokumenter Pelajar: Hening dalam Riuh | Qurrata Ayuni & Geubri Al-Varez | Indonesia

Special mention Dokumenter Panjang: I Am Hercules |Marius Iacob | Rumani