Catatan Program

Antroposen

 

Apabila pemuka agama di Uqbar dalam cerpen Borges (1940) membenci cermin (juga persetubuhan) karena melipatduakan jumlah manusia, apa kira-kira yang akan diucapkannya mengenai kamera dan film? Melalui perekaman, film melipatduakan manusia dan mengekalkannya; melalui duplikasi dan distribusi, ia mungkin melipatempatkan atau bahkan lebih. Telah sedari semula sejak diciptakan, kamera film mengikuti jejak manusia untuk “bertambah banyak; penuhi bumi dan taklukkan”, dengan dampaknya bagi kala geologis yang kini ramai kita sebut sebagai antroposen.

Baik dengan dalih eksplorasi saintifik, estetik, jurnalistik, maupun industrial, antroposen meluas seiring perluasan pergerakan kamera yang merekam dan mendokumentasikan sudut-sudut paling terpencil muka bumi. Ekspedisi Ziegler-Fiala tahun 1902 telah membawa kamera dalam perjalanan mereka ke Kutub Utara, yang menjadi dokumenter pertama National Geographic Society. Dan setiap perekaman niscaya adalah undangan bagi perekaman berikutnya. Maka lewat dari seratus tahun kemudian, di tempat yang jauh dari Kutub Utara, Ko Phi Phi Leh, pulau tempat pantai Maya Bay yang menjadi lokasi syuting The Beach (2000), harus ditutup akibat kerusakan alam gara-gara overturisme—pelipatgandaan kehadiran manusia yang dipicu oleh kamera dan film. Di era ketika kata “Instagrammable” bukan cuma telah resmi masuk dalam lema kamus Cambridge, tetapi dipahami maknanya oleh orang yang tak fasih berbahasa Inggris sekalipun, setiap rekaman indah paling amatir dari kamera ponsel mana saja adalah peluang kerusakan baru bagi muka bumi.

Namun, penting untuk dibilang juga di sini, tak semua orang sependapat bahwa kerusakan masif atas alam saat ini dipicu oleh mayoritas manusia (antro). Dalam suatu diskusi baru-baru ini yang saya moderatori, aktivis dan ilmuwan Vandana Shiva menyatakan ketidaksetujuannya dengan istilah antroposen, dan berpendapat “kapitalosen” lebih tepat untuk merujuk kondisi yang diakibatkan oleh kerakusan para saudagar kapitalisme industri yang notabene hanya segelintir dari umat manusia, bukan bagian terbesarnya.

Demikian juga mungkin, tak semua bakal sependapat bahwa kamera dan film adalah bagian integral dari perluasan antroposen dan kerusakan yang dibawanya. Bisakah film—terutama dokumenter—mengandung juga daya penebusan di dalam efek destruktifnya? Sebagai penghayat kekuatan film, buat saya tak ada opsi lain selain meyakininya. Melalui film-film dalam program Perspektif kali ini diharapkan bisa membuka mata dan segenap kepekaan kita akan antroposen dalam berbagai segi, dampak dan menindakinya.

Animasi Feeling the Apocalypse (Chen Sing Yap, 2022) menangkap psike banyak orang saat ini, terutama anak muda, yang mungkin belum terlalu banyak dibicarakan bahkan terlalu sering diremehkan sebagai mengada-ada: stres dan cemas memikirkan masa depan bukan atas dasar ketidakpastian ekonomi atau lapangan kerja, tetapi karena ketidakpastian lingkungan sebagai akibat langsung dari era antroposen. Kecemasan akan kehancuran dunia dan posisi diri (manusia) di dalamnya yang membuatnya merasa lunglai tak berdaya sekaligus tak berguna.

Berisi percakapan mendalam dan kerap filosofis antara seorang pemburu, dokter hewan, dan perawat saat sedang menjalankan operasi atas seekor rusa liar di suatu kawasan hutan lindung. Wacana film L’Ombra di Rasputin (Pietro Francesco Pingitore, 2023) mengusik persepsi kita tentang apa itu alam liar, benarkah apa yang disebut alami itu bukan buatan, serta di mana batas-batasnya. Para pembelajar ekologi politik tentu akan teringat pernyataan Paul Robbins: “[T]he environments around us, including and especially those composed of non-humans, are clearly produced. Forests are produced as much as factories…” (Political Ecology: A Critical Introduction, 2012) Manusia tetap aktor sentral sekaligus tak terpisah dari alam sekelilingnya, dan antroposen menegaskan bahwa yang disebut alam paling liar pun secara langsung atau tak langsung mengandung jejak-jejak peradaban manusia.

Ritual, Belahan IV: Bauran (Robby Ocktavian, 2022) menangkap saling-silang wacana tentang kota Samarinda dan sungai Mahakam dari berbagai pemangku kepentingan, tapi berbagai pandangan itu toh pada akhirnya harus tunduk pada kepentingan utama negara-birokrasi/kapitalisme-industri yang meluaskan kota menjorok ke pedalaman dan menyisakan kesemrawutan. Suatu film yang relevan untuk melihat secara kritis proyek mega-raksasa yang sedang dikerjakan secara tergesa-gesa di wilayah yang tak terlalu jauh dari Samarinda.

Kepentingan negara-birokrasi/kapitalisme-industri bisa kita saksikan dampak telak dan tragisnya yang lain dalam Yarokamena (Andrés Jurado, 2022), suatu tuturan meracau oleh tetua masyarakat adat Uitato mengenai perlawanan terhadap kolonialisme-kapitalisme perkebunan karet di Casa Arana, Kolombia. Benturan keras berdarah dalam proyek antroposen di tengah-tengah reruntuhan rumah-rumah modern dan antena-antena parabola terbengkalai: antara pemikiran manusia sebagai penguasa alam yang hendak menyedot segala sumber dayanya dengan penghayatan manusia sebagai bagian kecil dari alam yang hidup selaras dengan iramanya.

The Secret Garden (Nour Ouayda, 2023) adalah eksplorasi imajinatif tentang posisi manusia dalam antroposen: ia sentral sebagai pembawa narasi orang pertama, tapi sekaligus juga ternyata tak berdaya (tak terlihat) ketika dunia sekitar dirasa menggempurnya. Terbangun dari “hanya” ratusan foto atas vegetasi biasa di sekitar kita, film ini mengajak melihat yang dekat sebagai asing, sekaligus yang biasa kita abaikan sebagai kelaziman sehari-sehari sebagai sesuatu yang fantastis yang patut kita beri perhatian dan kekaguman lebih. Ketika dunia alam meminta balik dominasinya atas kota lewat suatu sebaran spesies-spesies “baru”, apa yang bisa diperbuat manusia?

 

— Ronny Agustinus